"Ndak sopan kamu, Ham! Ditawarin minum kok malah mendelik."
"Eh iya, Paman, maaf. Suwun kopine, tak' minum sit,"
"Semprul, koe!" jawab bujang lapuk itu pada keponakannya.
Ilham hanya tersenyum, menampakan deretan gigi putihnya melihat Paman Wito cemberut.Â
"Paman, aku mau keliling desa cari angin. Suwun, kopine manis kayak Paman," ucap Ilham sambil beranjak meninggalkan bujang lapuk itu sendirian.Â
Ilham terus menulusuri jalanan kampung yang berbatu. Sesekali ia berpapasan dengan warga yang menatapnya penuh tanda tanya, melihat wajah asing Ilham. Beberapa kali pula ia berpapasan dengan anak-anak yang hendak berangkat sekolah. Setiap langkah kaki Ilham menyeretnya pada masa-masa sepuluh tahun silam. Dimana ia masih berseragam merah putih.
"Ilham! Aku jangan ditinggal, tunggu." Sepasang anak berseragam merah putih berlari saling berkejaran melewati IIham yang berdiri di tengah jalan. Ia memperhatikan anak-anak itu hingga tak tampak dalam pandangannya. Melihat mereka Ilham seperti melihat dirinya saat masih kecil.Â
"Desvi, Desvi, Desvi." Ilham mengulang-ulang nama itu. Ia seperti menemukan benda kesayangan yang lama hilang. Potongan-potongan kenangan serupa puzel yang berserakan sedikit demi sedikit kian rapat membentuk cerita di otaknya. Ia kemudian berbalik arah, berjalan cepat menuju rumah sahabat kecilnya.Â
Sepuluh menit kemudian, Ilham telah sampai di sebuah rumah lumayan mewah untuk lingkungan pedesaan. Halaman luas yang didominasi bunga Desember tertata rapi. Ilham merapatkan jaket yang dikenakannya, saat angin dingin menerpa. Rasa ragu perlahan menyergap, saat melintas dalam ingatannya, wajah lelaki bertampang seram yang selalu ditakutinya sejak kecil. Pak Wiryo, ayah Desvi. Namun, seperti ada dorongan gaib, ia terus saja melangkah memasuki pekarangan rumah itu.Â
Begitu sampai di teras rumah, pintu terbuka seolah menyambut kedatangannya. "Desvi," panggil Ilham, saat dilihatnya bayangan seseorang gadis berlari, dan menyelinap masuk ke sebuah ruangan. Seperti sedang bermain petak umpet, Ilham mengikutinya hingga sampai pada sebuah ruangan minim penerangan. Ilham baru menyadari rumah itu seperti rumah kosong yang lama ditinggalkan.Â
"Di mana, Desvi?" hatinya bertanya-tanya. Ia terkejut saat tangannya menyenggol benda di atas meja, disusul bunyi benda jatuh di lantai. Ia memungut benda itu dan terkejut melihat foto dalam figura yang retak kacanya. Wajah itu adalah wajah seorang gadis yang kerap menghantuinya, baik dalam mimpi dan delusi-delusinya selama ini.Â
Air matanya berjatuhan seiring ingatannya pada "Desvi!" teriaknya sambil memeluk erat foto ke dalam dekapannya. Rumah itu seakan menariknya pada kejadian lima belas tahun silam.Â