Mohon tunggu...
Danang Arief
Danang Arief Mohon Tunggu... baca, nulis, gowes adalah vitamin kehidupan

Menekuni bidang pengembangan organisasi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Daun Pintu di Atas Motor, Kreatif atau Kepepet?

3 Agustus 2025   07:07 Diperbarui: 4 Agustus 2025   13:24 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Seorang Bapak yang Berjualan Pintu Keliling Pake Motor. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pernah lihat pintu berjalan?

Bukan, ini bukan soal teknologi canggih atau film fiksi ilmiah. Ini kejadian nyata di jalanan: seorang bapak-bapak menunggang motor lawas, memodifikasinya sedemikian rupa untuk menjajakan dagangan yang tidak biasa—daun pintu. Ya, pintu rumah sungguhan. Di belakang motornya terpampang plakat kecil bertuliskan, “Jual, pintu”

Kombinasi knalpot ngebul, ditambah wadah besar untuk menopang daun pintu, membuat motor itu hanya bisa melaju pelan. Pengendara mobil di belakangnya terpaksa sabar atau mencari celah untuk menyalip, karena separuh badan jalan nyaris dikuasainya.

Pemandangan ini absurd sekaligus menyentuh. Apa yang sebenarnya sedang kita saksikan? Kreativitas? Kepepet? Atau mungkin, cara baru membuka "pintu rezeki"?

Panggung Mini di Jalan Raya

Fenomena ini bukan satu-satunya. Di kota-kota besar maupun pelosok, makin banyak kendaraan yang dimodifikasi sebagai lapak berjalan. Dari gerobak kopi instan hingga mobil bekas yang jadi toko sayur keliling atau lapak soto kwali. Jalanan kini tak sekadar lintasan, tapi panggung penuh improvisasi untuk bertahan hidup.

BPS mencatat bahwa 59,40% tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal (per Februari 2025). Artinya, sebagian besar masyarakat menggantungkan hidup pada usaha mikro, dagang mandiri, atau profesi yang tidak punya struktur tetap. Dalam kondisi seperti ini, kreativitas bukan lagi nilai tambah—tapi alat bertahan.

Efektifkah Daun Pintu Dijual Begini?

Secara logika bisnis, menjual daun pintu dengan cara berkeliling motor terdengar tidak efisien. Barangnya besar, target pasarnya sempit, dan biaya tenaga plus bensin mungkin tak sebanding dengan omzet. Tapi logika seringkali kalah oleh kebutuhan mendesak.

Menurut studi Behavioral Economics oleh Mullainathan & Shafir (2013), dalam situasi scarcity (kekurangan sumber daya), manusia cenderung melakukan “bandwidth tax”—keputusan-keputusan instan untuk bertahan, meskipun tidak optimal secara jangka panjang. Dalam bahasa kita: ya udah, yang penting jalan dulu.

Dalam buku mereka berjudul Scarcity: Why Having Too Little Means So Much (2013), konsep ini dijelaskan sebagai fenomena ketika keterbatasan (scarcity) dalam satu aspek kehidupan—misal uang, waktu, atau sumber daya lain—menguras kapasitas kognitif (mental bandwidth). 

Akibatnya, individu yang mengalami scarcity harus membagi perhatian dan energi mentalnya untuk mengatasi kebutuhan mendesak, sehingga ruang untuk pengambilan keputusan jangka panjang, perencanaan, dan pengendalian diri menjadi terbatas. 

Kondisi inilah yang disebut sebagai bandwidth tax: semacam "pajak kognitif" akibat terbatasnya bandwidth mental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun