Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Senioritas Mengerikan dalam Dunia Pendidikan

31 Agustus 2019   19:16 Diperbarui: 1 September 2019   07:00 2478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia pendidikan kita kembali dicemari oleh perilaku-perilaku tak patut yang harusnya cuma kita temui di dunia premanisme dengan hierarki senioritas yang kuat. Sedang viral sebuah video pelaksanaan Masa Informasi dan Orientasi (inforent) atau sejenis Ospek di Universitas Khairun, Ternate, Maluku Utara. 

Dari video itu tampak mahasiswa mengalami perundungan dan perpeloncoan oleh senior mereka: disuruh menaiki tangga dengan cara jongkok dan berbagi air minum yang dilepehkan lagi ke gelasnya.

Setelah video itu viral, ada video beredar tentang permintaan maaf dari dua mahasiswa atas peristiwa tersebut. Pihak kampus juga tak tinggal diam dan langsung bertindak.

Setelah menyampaikan permohonan maaf, pihak kampus siap memberikan tindakan tegas. Bahkan siap melakukan pemecatan jika terbukti melakukan perundungan. 

Hasilnya, 4 mahasiswa yang berhasil diidentifikasi mendapat hukuman skorsing: 2 orang diskors selama 2 semester, sementara 2 lainnya diskors selama 1 semester.

Pada titik ini, apa yang dilakukan pihak kampus dan dua mahasiswa yang kemudian membuat video untuk meminta maaf adalah sebuah "kemajuan" karena adanya pengakuan terhadap kesalahan dan perilaku yang tidak patut terjadi di dunia akademis.

Tidak berbelit-belit dengan jawaban normatif yang kesannya menutup-nutupi sebagaimana beberapa kejadia sebelumnya. Akui saja kalau ada kesalahan, tak usah berpura-pura. Begitulah kira-kira.

SindoNews.com
SindoNews.com
Apa yang terjadi di Universitas Khairun ini kembali mengungkit luka lama soal bagaimana perilaku anarkis, kekerasan, sarkasme dan perploncoan norak itu kerap menghantui dunia pendidikan kita.

Menyedihkan, tentu saja, sebab sebagian dari peristiwa itu justru berakhir dengan hilangnya nyawa.

Seorang anak, dengan cita-cita besar di pundaknya, menjadi harapan orang tuanya harus mengalami peristiwa tragis yang dilakukan oleh senior, kakak tingkat, atau kakak kelasnya.

Semakin menyedihkan ketika hal itu terjadi justru di dunia pendidikan: sebuah dunia yang harusnya "suci" karena dipenuhi banyak harapan, cita-cita besar, tempat mengasah otak dan pola pikir yang benar.

Duka kita belum sepenuhnya kering atas meninggalnya 2 (dua) siswa SMA Taruna Indonesia Palembang yang diakibatkan oleh penganiayaan. Sehat sebelum datang dan sengsara saat pulang.

Kita juga masih ingat bagaimana Hanum, siswi SMAN 1 Gondang, Mojokerto, mengalami kelumpuhan akibat hukuman squat jump sebanyak 200 kali hanya karena terlambat mengikuti ekstra kurikuler. Dari Jogja sana, kita sempat disajikan ngerinya pendidikan dasar (Diksar) Mapala UII yang menyebabkan 3 (tiga) orang meninggal.

Dulu, sempat beredar juga bagaimana peserta pengkaderan OSIS di Malang mendapatkan perilaku tidak manusiawi dari senior mereka dengan disuapi lumpur. Ada juga anggota Paskibraka yang disuruh makan dari ember.

Mahasiswa UGM meregang nyawa saat mengikuti pelatihan Menwa, sementara salah seorang mahasiswa IAIN Cirebon mengalami muntah darah ketika mengikuti Diklatsar. 

Seorang mahasiswa baru juga pernah disiksa oleh seniornya di Taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, dan dari ITN Malang, kita pernah mendengar kabar soal meninggalnya mahasiswa baru yang diduga karena kekerasan saat mengikuti ospek.

Apa yang terjadi di STPDN, yang sekarang berganti menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), mungkin yang paling mengagetkan dan menyedihkan karena berkali-kali dan terulang lagi. Mulai dari Ery Rahman, Wahyu Hidayat, Cliff Muntu, Rinra Sujiwa (putra Syahrul Yasin Limpo), dan Jonoly Untayanadi yang akhirnya meregang nyawa karena mulutnya muntah darah.

Banyak contoh kasus lain yang tak mungkin disebut satu persatu. Jejak digital memungkinkan kita mereview kejadian-kejadian menyedihkan itu cukup dengan menuliskan keyword yang diinginkan di Google. Itupun belum termasuk kekerasan lain seperti tawuran, misalnya.

Lalu, sebenarnya untuk apa kekerasan fisik dan psikis itu dilakukan di dunia pendidikan yang harusnya mengedepankan hal-hal yang masuk akal? Kenapa senioritas tampil begitu mengerikan?

Saya pernah mengalami masa orientasi siswa di salah satu MTsN Model di Pamekasan, Madura, yang berjalan biasa saja. Tak ada yang mengerikan, apalagi penyiksaan. Hanya atribut aneh-aneh yang, kami pikir ketika itu, biasa saja. Sampai memasuki dunia kampus, Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga biasa saja. 

Hukumannya pun tak ada yang mengerikan, paling disuruh merayu, nyanyi, paling banternya stressing atau disuruh bawa nasi dengan bungkus koran langsung dan lauknya cuma tahu/tempe.

Beberapa kali ikut kegiatan jurig malam dalam proses kaderisasi sejak Tsanawiyah, Pesantren, OSIS, Teater, Organ ekstra kampus, tapi lagi-lagi, tak ada yang sampai pada titik mengerikan. Setidaknya, masih bisa diterima dan tak menghinakan.

Lalu apa dan kenapa kekerasan, perploncoan norak, kekerasan fisik, dan sarkasme berlebihan itu dilakukan? Bukankah mereka adalah anak manusia yang hanya ingin menuntut ilmu dan tidak untuk menjadi tentara? Bukankah mereka hanya ingin belajar, pintar, mengasah otak dan pengalaman dengan cara yang benar? Bukankah pembelajaran soal mental dan kedisiplinan tak bisa dilakukan secara berlebihan? Lalu atas dasar apa semua itu dilakukan?

Berbagai pertanyaan dalam benak kita muncul bersliweran. Tak berhenti mencari jawaban. Kok bisa? Kenapa? Untuk apa? Aneh memang, tapi itulah kenyataan. Bagian yang paling menyedihkan dalam dunia pendidikan saat carut-matur yang lebih urgen dan substantif belum teruraikan.

Dalam dunia premanisme atau dunia lain yang sifatnya kekerasan dan kekejaman, senioritas tampil begitu meyakinkan. Senior, yang lebih tua, kakak kelas, kakak tingkat, dan lainnya menjadi sosok yang seakan sakral dan tak bisa diganggu gugat. Tapi rupanya, hal yang demikian terjadi juga di dunia pendidikan ketika senioritas tampil dengan muka garang.

Banyak senior yang semena-mena itu hanya bermodal "lebih tua dan lebih dulu masuk" saja sementara kepintaran dan kecerdasannya biasa-biasa saja, bahkan kadang hanya mementingkan penampilan. Lalu, mereka dengan seenaknya bisa menyuruh dan membabukan juniornya.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, mereka menjadi senior hanya bermodal dengkul semata lalu berlagak sedemikian rupa.

Saya mendengar dari salah seorang teman yang kuliah di salah satu kampus swasta paling bonafid di Jakarta. Di sana, senioritas dipupuk dengan begitu langgengnya. Jika memaksa atau melawan, kata-kasar dan kekerasan fisik menjadi hadiahnya. "A****g, anak baru udah belagu!", "Angkatan tahun berapa lu?", "Kencing belum kering udah songong", sudah mejadi makanan sehari.

Anehnya, hal demikian dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Justru di kemudian hari, teman saya itu biasa juga melakukan kengerian yang sama pada junior-juniornya. Sok-sokan dan belagu-belaguan.

Kenapa seperti itu? Mungkin karena senioritas-junioritas itu terpelihara. Diturunkan secara turun temurun dari generasi sebelumnya ke generasi setelahnya. Mereka yang dulunya merasa tersiksa atas perlakuan para seniornya, akan memiliki potensi yang sama untuk melakukan hal serupa di kemudian hari. 

Melampiaskan rasa dendam kepada adik-juniornya sebagaimana dulu ia pernah mendapatkannya. Sementara untuk melawan, ia tidak berani dan tidak bisa. Menjadi junior, seakan posisi paling "hina", nestapa dan sengsara.

Kedongkolan yang berakar dan tertanam itulah yang barangkali mengalami sublimasi, dipendam sedemikian rupa karena tidak berani. Akhirnya perilaku itu muncul ketika memiliki posisi: saat statusnya berganti sebagai senior, kakak tingkat, atau kakak kelas. Menumpahkan segala "dendam" kepada adik-adiknya. Terus seperti itu, berlanjut.

Tulisan ini tidak untuk mengeneralisasi dan mempersempit makna senior, sebab bagaimanapun karakter, kepribadian, pengalaman masa lalu, serta cara ia berhubungan sosial merupakan faktor lain yang sangat menentukan. Tapi senioritas yang tampil begitu mengerikan, tak bisa kita sembunyikan. Ia nyata dan ada.

Dunia pendidikan adalah dunia ilmu pengetahuan. Sebuah dunia yang tak bisa dicampuri sama sekali dengan kemerasan, apapun alasannya. Dunia yang diharapkan bisa merubah kehidupan berbangsa kita untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.

Mestinya cukuplah dunia pendidikan di isi dengan edukasi, pembelajaran, dan sarana menuju pembangunan manusia Indonesia yang maju dan beradab.

Mestinya, sebagai yang lebih tua dan lebih dulu merasakan, sosok senior haruslah lebih hebat, cerdas, pintar, dan berpengalaman. Berharap dengan itu ada hal positif yang bisa dibagikan dan ditularkan melalui diskusi, debat, atau melalui himpunan dan pergerakan aktivisme.

Begitulah seharusnya para senior itu memperlakukan junior dan menghargai status keseniorannya. Merawat dan mendampingi adik-adiknya. Malu jika tak demikian. Lebih malu lagi jika belagu saat otak dan pengalaman tak bisa diandalkan. Hanya punya dengkul untuk sok-sokan.

Acara Ospek, Masa Orientasi, Pengenalan Kampus, dan sejenisnya pun harus ditata ulang. Ada regulasi dan aturan yang harus mengikat semua yang terlibat. Semua prosesnya, dari pembukaan hingga penutupan, harus terpantau. Semua program pendidikan dalam sebuah lembaga, tak bisa disimplifikasi hanya dengan proses pengenalan yang sekilas. 

Tak penting juga untuk mengetahui mental dan karakter seseorang melalui acara-acara dadakan dengan durasi super kilat. Biarkan saja urusan mental itu mengalami proses sebagaimana seharusnya dalam rentang waktu 3 atau 4 tahun, sepanjang anak-anak didik berada dalam masa pendidikannya. 

Bukankah yang selalu digembar-gemborkan adalah pendidikan karakter? Kalau pengenalan, ya, sudah pengenalan saja. Orientasi, ya, sudah cukup orientasi. Dikemas saja acara dan proses yang lebih akademis. Berkesan dan manis.

Maka, semua stakeholder harus terlibat untuk mengurangi senioritas yang berujung pada hal mengerikan dan jatuhnya korban. Pemerintah harus mengatur dan penegak hukum bisa memperlakukan segala penyimpangan dan laku kriminal sesuai dengan undang-undang yang sudah diatur. 

Pihak sekolah dan kampus harus menciptakan regulasi agar senioritas tak digunakan secara lebay dan premanisme tidak terjadi terus-terusan. Sulit mengharapkan kemajuan bangsa ini saat dalam dunia pendidikan pola dan kebiasaan yang menjadi akar dari rasisme dan fasisme semacam itu tetap terjadi.

Mari, bersama kita jadikan bangsa ini tidak semakin ngeri.

Salam,
Mustafa Afif
Kuli Besi Tua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun