Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Senioritas Mengerikan dalam Dunia Pendidikan

31 Agustus 2019   19:16 Diperbarui: 1 September 2019   07:00 2478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu apa dan kenapa kekerasan, perploncoan norak, kekerasan fisik, dan sarkasme berlebihan itu dilakukan? Bukankah mereka adalah anak manusia yang hanya ingin menuntut ilmu dan tidak untuk menjadi tentara? Bukankah mereka hanya ingin belajar, pintar, mengasah otak dan pengalaman dengan cara yang benar? Bukankah pembelajaran soal mental dan kedisiplinan tak bisa dilakukan secara berlebihan? Lalu atas dasar apa semua itu dilakukan?

Berbagai pertanyaan dalam benak kita muncul bersliweran. Tak berhenti mencari jawaban. Kok bisa? Kenapa? Untuk apa? Aneh memang, tapi itulah kenyataan. Bagian yang paling menyedihkan dalam dunia pendidikan saat carut-matur yang lebih urgen dan substantif belum teruraikan.

Dalam dunia premanisme atau dunia lain yang sifatnya kekerasan dan kekejaman, senioritas tampil begitu meyakinkan. Senior, yang lebih tua, kakak kelas, kakak tingkat, dan lainnya menjadi sosok yang seakan sakral dan tak bisa diganggu gugat. Tapi rupanya, hal yang demikian terjadi juga di dunia pendidikan ketika senioritas tampil dengan muka garang.

Banyak senior yang semena-mena itu hanya bermodal "lebih tua dan lebih dulu masuk" saja sementara kepintaran dan kecerdasannya biasa-biasa saja, bahkan kadang hanya mementingkan penampilan. Lalu, mereka dengan seenaknya bisa menyuruh dan membabukan juniornya.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, mereka menjadi senior hanya bermodal dengkul semata lalu berlagak sedemikian rupa.

Saya mendengar dari salah seorang teman yang kuliah di salah satu kampus swasta paling bonafid di Jakarta. Di sana, senioritas dipupuk dengan begitu langgengnya. Jika memaksa atau melawan, kata-kasar dan kekerasan fisik menjadi hadiahnya. "A****g, anak baru udah belagu!", "Angkatan tahun berapa lu?", "Kencing belum kering udah songong", sudah mejadi makanan sehari.

Anehnya, hal demikian dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Justru di kemudian hari, teman saya itu biasa juga melakukan kengerian yang sama pada junior-juniornya. Sok-sokan dan belagu-belaguan.

Kenapa seperti itu? Mungkin karena senioritas-junioritas itu terpelihara. Diturunkan secara turun temurun dari generasi sebelumnya ke generasi setelahnya. Mereka yang dulunya merasa tersiksa atas perlakuan para seniornya, akan memiliki potensi yang sama untuk melakukan hal serupa di kemudian hari. 

Melampiaskan rasa dendam kepada adik-juniornya sebagaimana dulu ia pernah mendapatkannya. Sementara untuk melawan, ia tidak berani dan tidak bisa. Menjadi junior, seakan posisi paling "hina", nestapa dan sengsara.

Kedongkolan yang berakar dan tertanam itulah yang barangkali mengalami sublimasi, dipendam sedemikian rupa karena tidak berani. Akhirnya perilaku itu muncul ketika memiliki posisi: saat statusnya berganti sebagai senior, kakak tingkat, atau kakak kelas. Menumpahkan segala "dendam" kepada adik-adiknya. Terus seperti itu, berlanjut.

Tulisan ini tidak untuk mengeneralisasi dan mempersempit makna senior, sebab bagaimanapun karakter, kepribadian, pengalaman masa lalu, serta cara ia berhubungan sosial merupakan faktor lain yang sangat menentukan. Tapi senioritas yang tampil begitu mengerikan, tak bisa kita sembunyikan. Ia nyata dan ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun