Duka kita belum sepenuhnya kering atas meninggalnya 2 (dua) siswa SMA Taruna Indonesia Palembang yang diakibatkan oleh penganiayaan. Sehat sebelum datang dan sengsara saat pulang.
Kita juga masih ingat bagaimana Hanum, siswi SMAN 1 Gondang, Mojokerto, mengalami kelumpuhan akibat hukuman squat jump sebanyak 200 kali hanya karena terlambat mengikuti ekstra kurikuler. Dari Jogja sana, kita sempat disajikan ngerinya pendidikan dasar (Diksar) Mapala UII yang menyebabkan 3 (tiga) orang meninggal.
Dulu, sempat beredar juga bagaimana peserta pengkaderan OSIS di Malang mendapatkan perilaku tidak manusiawi dari senior mereka dengan disuapi lumpur. Ada juga anggota Paskibraka yang disuruh makan dari ember.
Mahasiswa UGM meregang nyawa saat mengikuti pelatihan Menwa, sementara salah seorang mahasiswa IAIN Cirebon mengalami muntah darah ketika mengikuti Diklatsar.Â
Seorang mahasiswa baru juga pernah disiksa oleh seniornya di Taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, dan dari ITN Malang, kita pernah mendengar kabar soal meninggalnya mahasiswa baru yang diduga karena kekerasan saat mengikuti ospek.
Apa yang terjadi di STPDN, yang sekarang berganti menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), mungkin yang paling mengagetkan dan menyedihkan karena berkali-kali dan terulang lagi. Mulai dari Ery Rahman, Wahyu Hidayat, Cliff Muntu, Rinra Sujiwa (putra Syahrul Yasin Limpo), dan Jonoly Untayanadi yang akhirnya meregang nyawa karena mulutnya muntah darah.
Banyak contoh kasus lain yang tak mungkin disebut satu persatu. Jejak digital memungkinkan kita mereview kejadian-kejadian menyedihkan itu cukup dengan menuliskan keyword yang diinginkan di Google. Itupun belum termasuk kekerasan lain seperti tawuran, misalnya.
Lalu, sebenarnya untuk apa kekerasan fisik dan psikis itu dilakukan di dunia pendidikan yang harusnya mengedepankan hal-hal yang masuk akal? Kenapa senioritas tampil begitu mengerikan?
Saya pernah mengalami masa orientasi siswa di salah satu MTsN Model di Pamekasan, Madura, yang berjalan biasa saja. Tak ada yang mengerikan, apalagi penyiksaan. Hanya atribut aneh-aneh yang, kami pikir ketika itu, biasa saja. Sampai memasuki dunia kampus, Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga biasa saja.Â
Hukumannya pun tak ada yang mengerikan, paling disuruh merayu, nyanyi, paling banternya stressing atau disuruh bawa nasi dengan bungkus koran langsung dan lauknya cuma tahu/tempe.
Beberapa kali ikut kegiatan jurig malam dalam proses kaderisasi sejak Tsanawiyah, Pesantren, OSIS, Teater, Organ ekstra kampus, tapi lagi-lagi, tak ada yang sampai pada titik mengerikan. Setidaknya, masih bisa diterima dan tak menghinakan.