Mohon tunggu...
Penaku
Penaku Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak-anak Pelosok Negeri

Menulis adalah Bekerja untuk keabadian. Awas namamu akan abadi dalam tulisannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terimakasih untuk Rumah Nyaman (2)

8 Agustus 2022   09:45 Diperbarui: 8 Agustus 2022   09:52 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jimiardi. Gambar dokumentasi pribadi 

Kumandang magrib telah terdengar jelas, gerbang kota Kolaka telah kami masuki. Maps menuntun kami ke jantung kota. Beberapa kali kami turun untuk mencari tempat rehat sejenak atau singgah buang hajat,,..

"Mau kemana kita ini far"?
"Mau tidur dimana malam ini"! Keluh kembali kakak himpunan ku ini.

Disini, Kolaka tak seperti kendari yang riuh ramai suara bising kendaraan dengan segala kepadatannya. Beberapa kali kami harus putar-putar mencari tempat peristirahatan seperti warkop atau sekedar angkringan untuk mengambil jeda.

"Bang, apa kita ke rumah elis saja malam ini? Tanyaku kembali.
"Sesebentar saja, kita cari saja dulu tempat untuk mencuci muka, sekalian sholat magrib, kalau kamu ingin Sholat". Ujar Jimin setengah lesu.

Udara malam kota kolaka, melambai dengan sejuk. Langit bertabur bintang sudah nampak berseliweran pada ketinggian sana. Sesekali sayup-sayup suara burung tekukur melantunkan melodi yang indah, setelah menanti senja dan kepergiannya.

Sesungguhnya makhluk seperti burung pun tak ketinggalan untuk berdzikir kepada Tuhan Pencipta Alam.

Setelah makhluk-makhluk itu menjemput petang dengan ibadah, Kembali banyak asumsi dan perkiraan dalam benak kami masing-masing. Barangkali masjid adalah alternatif lain untuk malam ini beristirahat.

"Ini kalau kita lanjut ke rumahnya elis saja gimana bang?" Kebetulan juga jaraknya kedepan lagi, sekitaran setengah jam kita sampe kayanya". Setelah menimang-nimang sesaat, kami memutuskan juga kesana saja. Mengingat besok kami akan turun survey di kelurahan Pomaala, maka sepatutnya berisitirahat di kediaman elis adalah opsi ternyaman malam ini.

GPS menuntun kami meninggalkan pusat kota. Mengarahkan kami menyusuri area jalan pinggiran laut meninggalkan keramaian. Termasuk area tugu cocao, yang penuh aktivitas pemuda, pedagang kaki lima, dan beberapa keluarga dengan anak-anak kecilnya.

Semua menjadi warna tersendiri. Sudah cukup untuk mendeskripsikan bahwa kota ini seperti pelangi. Infrastruktur gedung pun memperlihatkan sorotan cahaya lampu yang beraneka warna. Sebagai buktinya datang saja kalau berkesempatan.

Siapa sangka, menuju rumah elis ternyata tak secepat yang kami kira. Estimasi waktunya sekitaran setengah jam atau barangkali kurang. Memang kadang-kadang google maps tidak selamanya presisi.

Motor melaju, lingkungan semakin sepi. seperti kampung-kampung pedesaan pada umumnya. Disini pula tidak ada penerang jalan selain sorot lampu motor. Jangan kira kami tidak takut.
"kenapa gelap begini, far?" Sudah benarkah ini ? Kok semakin gelap ya?".

Saya yang nebeng di belakang hanya meyakinkan bahwa tidak jauh lagi akan sampai. Jalannya pula berliku-liku, seperti  kehidupan yang banyak likunya. "Jalan aja bang, sudah semakin dekat kok,". Sepanjang jalan sepi ini, hanya itu yang sanggup ku ucapkan, sembari berdzikir kepada Tuhan dalam hati.

Semakin kesini, hanya suara sesekali kendaraan mengisi gendang telinga. Rumah-rumah pun tak sepadat yang ada di kota. Masih berderet namun juga tak begitu rapat, kisaran ratusan meter jaraknya.

Dengan laju motor yang sedang-sedang saja, bang jimin ini kalau lagi bawa motor sebenarnya santai, namun kali ini tak pelan sebagaimana sebelumnya. Ya, pas untuk kita katakan "Kalau cewek nebeng di orang ini sekarang, pasti nyaman". Hehe.

Satu hal menarik lainnya adalah saya tak lagi merasakan demam dan sakit kepala. Padahal sebelum keberangkatan, sakitnya bukan kepalang.

Pikiran mempengaruhi kondisi tubuh. Saya tersadar, semakin kita tak memikirkan apa yang menimpa tubuh kita, seperti penyakit, maka tubuh akan meresponnya dengan ekspresi bahagia. Seperti yang saya rasakan sampai pada malam ini. Sehingga saya menyadari betul tak merasakan lagi demam dan sakit kepala. Semoga saja apa-apa yang menimpa kita adalah musabab turunnya berkah.

Semakin dirasa dan bertanya-tanya, sejauh manakah kita telah melangkah, atau berjalan sejauh manakah kita, Sudah tiba kah tempat tujuan kita? Sebenarnya tempat tujuan kita menunggu pada ujung sana. Akan sampai kalau waktunya tiba.  Bahkan kita merasa begitu cepat dengan semua alur cerita dan secarik perjalanannya.

Anda sudah sampai! Begitulah kata suara gps. kami tiba dititik lokasi rumah elis. Namun hanya irikan jangkrik dan kodok yang menyambut kedatangan kami. Rasanya semakin sepi tambah juga gelap.

"Ini kita sudah tiba bang". Ucapku setengah lega. Motor menepi. "Terus mana rumahannya elis, kok, disini gelap baru sepi sekali? Tanya kakak himpunan ku ini.

"Bang, tadi siang saya liat sih, elis dia kirim video halaman rumahnya, ada beberapa tanaman pisang dan singkong".

Sekejap kemudian setelah kepala celingukan mencari keberadaan rumahnya elis ini, arah utara pada posisi tanah dengan sedikit mendaki, sebuah rumah agak tinggi dengan lampu remang putih. Kelihatan pada celah-celah dedaunan singkong yang sedikit rimbun, sesosok perempuan duduk di teras sembari melihat gaway, tak berjilbab, lebih tepatnya gadis remaja.

"Itu mungkin rumah elis, itu adenya kayanya". Kataku.
"Dek,,,, "Rumahnya elis ini? Panggilku setengah teriak. 
"Iya,,,,. Perempuan itu dengan ekspresi kaget segera masuk kedalam. Barangkali memanggil elis. Setelah itu, perempuan yang kami harapkan, elis wati keluar dengan kain sarung menutupi rambut. Dengan senyum sumringah dan memukau.

"Hey, safar,, ngapain disitu, sini masuk rumah". Ajak elis.
Kami bergegas mengarahkan motor sedikit mendaki menuju halaman rumah itu. Dalam kesempatan itu sebagaimana adat kebanyakan memperlakukan tamu dengan sangat terhormat. Kami dilayani dengan baik betul.

Malam berlangsung dengan interaksi hangat bersama secangkir kopi dan beberapa cemilan. Sepi dan nyaman. kendati sinyal buat hati tak tenang. Bercerita soal perjalanan adalah preferensi utama malam ini. Elis dengan karakternya yang anggun cukup menjadi pendengar yang baik. sesekali merespon dengan tanya dan senyum khasnya.

Adapun gadis sebelumnya itu adalah ponakannya, bukan adik kandungnya. Paras yang tak kalah juga dengan elis, memiliki senyuman memikat, tak heran kalau kakak himpunan ku bercerita dengan sangat nyaman dan intens.

Dua gadis keturunan bugis, dengan perlakuan mulia. Malam yang hening mengatakan bahwa ditempat ini kamu dibuat dingin. Sekalipun hatimu ketar-ketir karena perilakunya. Senyum yang membekas di hatimu sudah cukup untuk berandai, siapakah yang pantas untuk sosok itu.

Disini, komunikasi secara langsung efektif.  Tidak seperti kota, sepi ditengah keramaian. Sering berkumpul tetapi masih saja asik dengan handphone masing-masing. Meskipun tidak semua juga begitu.

Arti penting setiap perjalanan adalah perjumpaan dengan orang-orang dengan berbagai karakter. Di manapun kamu berada, engkau akan bertemu dengan manusia yang menyambut mu dengan ramah jika etika di junjung tinggi.

Malam semakin larut, perasaan lega menyusupi ruang hati ini. Elis sesungguhnya menganjurkan kami untuk segera tidur karena kecapean. Tetapi barangkali suasana seperti ini lebih nikmat untuk kita bercerita bersama gulita dan orang-orang yang buat hati kita nyaman.

Pagi menyapa, mata terbelalak saat melihat apa panorama didepan sana,,

Berlanjut,,,,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun