"Sebentar lagi Pak. Mohon sabar ya." Kata suster yang gemuk pendek berkacamata. Kemudian mereka berpamitan keluar. Sudah itu hening.
Kami bertiga saling tatap bergantian. Kugenggam makin kuat tangan ibu.
Sudah pukul setengah 10 pagi ini. AC ruangan mulai surut dinginnya. Sebenarnya aku pingin buang air. Tapi tak jadi. Selain karena mungkin hanya perasaan saja, kadang orang panik larinya ke sakit perut, tapi tak jadi, juga karena WC di ruangan itu kotor sekali. Berlumut dan bau. Rumah sakit milik Pemkab seolah diurus ala kadarnya. Kasihan rakyat miskin. Kasihan kami.
"Ibu Aisyah mari bersama kami," kata dokter, seorang wanita muda, mungkin lima enam tahun di atasku. Dokter Nina nan juwita. Seperti artis Korea tapi yang ini agamis. Jilbaber.
Ibuku dipindahkan ke ranjang lain lalu digiring ke luar.
Kami ikut mendorong ibu. Laju kami berlomba dengan degup jantung.
"Ibu pasti sembuh. Yakinlah," kata Ayah. "Bismillah lancar Bu. Wiridan terus Bu." Kubilang.
Ibu diam. Bibirnya bergetar, wiridan, juga seperti ingin bicara banyak. Matanya sembab. Tak terhitung berapa kubik air yang ditumpahkan.
Sampai di ruang operasi kami melepas ibu di pintu. Ibu masuk kami tertunduk layu.
*
"Keluarga Ibu Aisyah!" Dokter Nina yang berkerudung lebar tergerai hingga di bawah pinggang berseru sekeluarnya dari ruang operasi.