"Oh, mmm,"
Panas entah dari mana asalnya langsung menyergap dadaku. Kubetulkan dudukku. Ibuku bercerita, katanya benjolan di bahu bak punuk unta itu, perintah dokter puskesmas, harus diangkat. Dioperasi.
"Kalau kata Mbah Siro diolesi minyak zaitun akan hilang sendiri dalam dua pekan, Nak." cerita Ibu. "Tapi ayahmu selepas shalat tahajud bilang lebih baik operasi. Jangan percaya dukun."
"Tiga hari lagi, Bu?"
"Iya, Nak. Kamu tenang. Sama Sahram--kakak sepupuku--semuanya sudah diurus. InsyaAllah sudah beres. Gratis, Nak. Tapi bila tidak sibuk, kalau kamu bisa pulang, pulang, Nur. Tapi bila sibuk nggak usah."
Aku tercenung nun di depan warung makan yang sudah tutup. Langit berwarna jingga. Kota ini siap ditelan malam. Tarhim sahut-sahutan dari corong-corong langgar juga masjid.
Pandanganku tak jelas. Air Mata tumpah. Lalu meleleh di pipi. Kalau sibuk tak usah. Kata itu menguing di benak. Jumat adalah hari penting bagiku di kantor. Tapi aku harus pulang.
Anak macam apa aku kalau sampai tak bisa menemani ibu operasi "punuk"nya. Punuk itu yang menyebabkan ibu sering diserang sakit kepala hebat lalu mengerang kesakitan. Ya Allah, sehatkan ibu. Berilah kesembuhan yang sempurna untuk ibu. Aamiin.
"Aku bisa pulang kok Bu."
"Jangan kalau sibuk, Nak."
"Nggak, Bu. Aku nggak sibuk."