Akhirnya, kujawab dengan rasa sesak. Marah bercampur pasrah. Tak rela, tetapi juga tak berdaya. Buatku, tentu saja bukan perkara mengingat semua tentangmu. Itu sangatlah mudah, Dik. Separuh jiwaku adalah dirimu. Kau lebih dari sekadar untuk diingat.
Hening. Senja bergulir dan kita kian karam dalam diam.
Mas ....
Lirih suaramu masih melekat kuat di memoriku. Begitu juga sepasang mata berembun yang menatapku sore itu. Dalam tatapanmu, aku melihat mimpi-mimpi yang sudah kita susun sebagai harapan. Lalu kita juga mengikatnya dengan janji. Kesepakatan telah terpatri. Kau dan aku hanya akan menyerah di titik kemustahilan. Dan kita, belum sampai di titik itu. Belum!
Dik, aku akan menikahimu, apa pun resikonya.
Kusuarakan juga tekad yang tiba-tiba menyergap. Aku tidak ingin kehilanganmu. Sungguh.
"Tapi bapak sudah tegas-tegas menjodohkanku sama Pras. Tadi di telpon bapak bilang, habis wisuda minggu depan itu, aku harus pulang, Mas. Tunangan, lalu pernikahan bakal digelar secepatnya. Begitu!"
Kalimatmu itu tersimpan rapi di otakku--kata demi kata. Sebuah rincian rencana yang membuat langit dan seluruh isinya seperti runtuh menimpa dada. Kau tahu, aku sangat mencintaimu, Dik. Maka, izinkan aku memperjuangkan cinta kita. Berjanjilah, kau pun bersedia bertarung bersama. Cinta tidak mungkin diperjuangkan hanya dengan sebelah tangan dan separuh langkah.
Kugenggam erat sepasang tangan halusmu dan menatap penuh harap. Ya, berharap kesungguhan yang seketika meraja di penjuru raga mengalir sempurna ke hatimu. Lalu, menyamakan langkah jadi kian mudah.
Kau mengangguk. Air mata kita rebas deras. Senja luruh, mendekap secuil asa yang baru saja tumbuh. Senyum tipismu jadi kekuatan paling membara dalam jiwa.
***
Kamu ini siapa, hehh? Berani-beraninya melamar Utami. Dasar laki-laki tak tahu diri!
Begitu hardik bapakmu hari itu, bukan?