Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Putaran Memori

12 April 2020   23:12 Diperbarui: 12 April 2020   23:19 137 10


Akankah Mas Bintang tetap mengingatku, apa pun yang terjadi di antara kita nanti?

Bahkan bagaimana cara kau mengucapkan pertanyaan itu, aku masih sangat ingat, Dik. Matamu berkaca-kaca saat keluar dari salah satu bilik wartel, warung telekomunikasi dekat kampus kita. Kau menatapku yang termangu, menunggumu di depan pintu. Tak pernah kulihat manik hitam itu sedemikian sendu. Aku tahu, kau sedang menahan tangis, agar tak seketika meledak. Karenanya, kita segera beranjak.

Kau ucapkan kalimat tanya itu sebelum duduk di boncengan. Suaramu bergetar dan air mata tak dapat dibendung lagi. Jika saja aku lelaki yang tak tahu malu, sudah kurengkuh tubuhmu ke dalam pelukan saat itu juga di sana. Ya, di depan wartel langganan. Kita saling memeluk dan berbagi kegalauan dalam diam. Membiarkan air mata tercurah, melarung segala resah. Sayangnya, bukan begitu caraku, Dik.

Mas, jawab!

Sampai kini masih terngiang protesmu lantaran aku diam saja. Namun, kemarahan itu hanya di bibir. Buktinya, kau langsung menyandarkan kepala di pundakku dengan dua tangan melingkar erat di pinggang.

Aku bisa merasakan isakanmu, juga air mata yang merembes menembus kaus tipisku. Hati ini seperti ditusuk-tusuk, Dik. Dunia pun terasa berputar-putar dan kita harus siap terlempar. Terpental di tempat yang berbeda. Dipaksa berpisah setelah terbebat kuat dalam jalinan asmara tanpa restu orang tua. Bagaimana aku sanggup berkata-kata meskipun sekadar 'ya'?

Mas, jangan ngebut!

Itu protesmu yang kedua. Maaf, Dik. Sekelebatan terlintas dalam pikiran, aku ingin mati saja di Jalan Raya Margonda. Sengaja menabrakkan motor ke bus kota. Kalau kita tidak bisa hidup bersama, maka lebih baik mati berdua. Indah juga, bukan?

MAS!

Baiklah, aku sadar itu hanya godaan setan. Kita masih selamat. Kita baik-baik saja--setidaknya secara lahiriah. Jauh di batin sana, sebuah luka lebar menganga. Perih. Teramat perih.

Kau dan aku lalu berada di tepian danau dekat rektoriat. Mari kita menangis, Dik! Di sini sepi. Tidak akan ada yang menertawakan nasib buruk dan kepengecutanku. Ajakan itu menyiratkan betapa cengengnya aku ya, Dik.

Ya, aku akan selalu mengingatmu, apa pun yang terjadi di antara kita kelak.

Akhirnya, kujawab dengan rasa sesak. Marah bercampur pasrah. Tak rela, tetapi juga tak berdaya. Buatku, tentu saja bukan perkara mengingat semua tentangmu. Itu sangatlah mudah, Dik. Separuh jiwaku adalah dirimu. Kau lebih dari sekadar untuk diingat.

Hening. Senja bergulir dan kita kian karam dalam diam.

Mas ....

Lirih suaramu masih melekat kuat di memoriku. Begitu juga sepasang mata berembun yang menatapku sore itu. Dalam tatapanmu, aku melihat mimpi-mimpi yang sudah kita susun sebagai harapan. Lalu kita juga mengikatnya dengan janji. Kesepakatan telah terpatri. Kau dan aku hanya akan menyerah di titik kemustahilan. Dan kita, belum sampai di titik itu. Belum!

Dik, aku akan menikahimu, apa pun resikonya.

Kusuarakan juga tekad yang tiba-tiba menyergap. Aku tidak ingin kehilanganmu. Sungguh.

"Tapi bapak sudah tegas-tegas menjodohkanku sama Pras. Tadi di telpon bapak bilang, habis wisuda minggu depan itu, aku harus pulang, Mas. Tunangan, lalu pernikahan bakal digelar secepatnya. Begitu!"

Kalimatmu itu tersimpan rapi di otakku--kata demi kata. Sebuah rincian rencana yang membuat langit dan seluruh isinya seperti runtuh menimpa dada. Kau tahu, aku sangat mencintaimu, Dik. Maka, izinkan aku memperjuangkan cinta kita. Berjanjilah, kau pun bersedia bertarung bersama. Cinta tidak mungkin diperjuangkan hanya dengan sebelah tangan dan separuh langkah.

Kugenggam erat sepasang tangan halusmu dan menatap penuh harap. Ya, berharap kesungguhan yang seketika meraja di penjuru raga mengalir sempurna ke hatimu. Lalu, menyamakan langkah jadi kian mudah.

Kau mengangguk. Air mata kita rebas deras. Senja luruh, mendekap secuil asa yang baru saja tumbuh. Senyum tipismu jadi kekuatan paling membara dalam jiwa.

***
Kamu ini siapa, hehh? Berani-beraninya melamar Utami. Dasar laki-laki tak tahu diri!

Begitu hardik bapakmu hari itu, bukan?

Namun, tidak sedikit pun sikap kasar bapak menggerus keyakinan diri. Tidak pula membuatku beringsut dari hadapannya, meskipun sejengkal. Kita pasti bisa bersatu, dengan atau tanpa restu.

"Saya memang bukan siapa-siapa, Pak. Tapi, saya sangat mencintai Utami. Demi Allah, saya bersumpah akan membahagiakannya."

Apa lagi yang bisa aku janjikan, selain memberimu kebahagiaan atas nama Tuhan. Niat paling suci yang kupersembahkan untukmu. Melebihi harga diriku sendiri, Dik.

Tangismu yang pecah tidak mampu meluluhkan kekerasan hati mereka. Tidak ada setitik pun belas iba. Yang tersisa dua pilihan saja, menerima atau durhaka. Dik, aku sungguh terkesima kau memilih durhaka. Bersedia hidup bersama laki-laki yang motor saja pemberian orang tua.

Walaupun tak sesempurna angan, akhirnya kita bisa mengikat cinta. Dalam hidupku, inilah takdir paling istimewa. Menikahimu, bahagiaku paripurna.

"Akankah Mas Bintang tetap mengingatku, apa pun yang terjadi di antara kita nanti?" Pertanyaan yang sama kau ucapkan lagi sebelum masuk ruang operasi.

"Dik, sedetik pun aku tak pernah membiarkan kau pergi, meninggalkan berjuta kenangan untuk diingat-ingat. Seorang Utami bagiku adalah belahan jiwa, sampai ujung usia 'kan tetap terbawa. Seutuhnya." Itu jawabanku.

Kau tersenyum manis dan bertanya, "Kok, bisa?"

Belum sempat kujawab, suster sudah membawamu masuk.

Sayang sekali, hanya dua belas purnama saja kita hidup bersama. Kau pergi meninggalkan kami selamanya. Senyummu pagi itu di depan ruang operasi, menjadi senyum terakhir. Menyisakan kenangan yang tak mungkin bisa kulupakan. Alih-alih memudar, semua tentangmu justru terus berpendar.

Dik, di hari kepergianmu ada perempuan lain hadir mengisi hidupku. Dia memiliki senyum yang sama manisnya sepertimu. Setiap menangis, gadis cantik itu merangkulku erat-erat dari belakang. Tak ingin wajah sedihnya ditatap, tetapi membiarkan air mata membasahi bahuku. Bukankah itu caramu berbagi kesedihan?

Aku sangat menyayanginya, Dik. Cinta yang berbeda. Yang di setiap celoteh, tangis, gelak tawa dan marahnya kian menguatkan bayanganmu di pikiranku. Menebalkan kerinduan di dada.

Kemarin lusa aku tercekat karena pertanyaannya. "Akankah Ayah mengingatku, apa pun yang terjadi di antara kita? Seperti Ayah yang selalu teringat pada ibu saban waktu."

Dia ucapkan kalimat itu di depan pusaramu. Binar-binar keceriaan yang biasa tampak di sorot matanya tertutup bening duka. Bibir Ayu -putri kita- bergetar, menahan kegelisahan. Selama tujuh belas tahun aku bersamanya, baru hari itu ia tampak gamang. Seperti tak ingin membiarkanku sendiri di rumah.

"Jawab, Ayah!" protesnya karena aku diam saja.

"Tentu, Sayang."

Hari itu dia berpamitan padamu. Beasiswa mengantarnya terbang ke negeri seberang, mewujudkan cita-citamu yang dulu kandas. Namun, sesungguhnya itu bukan berpamitan. Ayu menyusulmu, karena pesawatnya tak pernah mendarat di titik tujuan.

Untuk kedua kalinya, aku kehilangan perempuan tersayang. Rasanya bukan lagi sesak, tetapi meledak. Marah,  semarah-marahnya. Murka dalam ketidakberdayaan. Dipersatukan, lalu dipisahkan. Digantikan lantas direnggut paksa. Adakah permainan nasib yang lebih kejam dari ini?

Akankah aku tetap mengingat kalian, apa pun yang terjadi?

Entahlah, apa aku sanggup menanggung beban duka seberat ini. Bahkan sebentar lagi, aku mungkin mati dirajam rindu. Tak mampu mengingat apa-apa lagi.

TAMAT

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun