Mohon tunggu...
Mulyadi SH MH
Mulyadi SH MH Mohon Tunggu... Penulis

Dengan menulis pemikiran kita dapat tersampaikan, menulis juga merupakan senjata intelektualitas

Selanjutnya

Tutup

Politik

"NepoKids", Amarah Gen Z, dan Negara yang Runtuh Merupakan Cermin Nepal untuk Indonesia

13 September 2025   22:33 Diperbarui: 13 September 2025   22:33 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi cermin retak nepal peringatan indonesia

Jakarta – Nepal terbakar. Bukan karena perang saudara seperti di masa lalu, tetapi karena kemarahan generasi baru yang merasa masa depannya dicuri. Runtuhnya pemerintahan di Kathmandu pada September 2025, yang dipicu oleh larangan media sosial, bukanlah sebuah kecelakaan. Itu adalah ledakan bom waktu yang sumbunya telah menyala selama bertahun-tahun.

Kisah Nepal bukanlah dongeng dari negeri jauh. Ia adalah cermin retak yang memantulkan bayang-bayang kerawanan kita sendiri. Larangan media sosial hanyalah percikan api; "bensin" yang menyulut api hingga meluluhlantakkan parlemen dan istana presiden adalah tumpukan kekecewaan yang juga sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia.

Ada tiga sumbu utama yang membuat bom waktu Nepal meledak. Tiga sumbu ini harus menjadi peringatan yang sangat serius bagi Indonesia.

Sumbu Pertama: Korupsi yang Dipamerkan, Kemarahan yang Diviralkan

Di era digital, korupsi bukan lagi sekadar angka kerugian negara yang abstrak. Di Nepal, ia berwujud nyata dalam fenomena "NepoKids"—gaya hidup super mewah anak-anak pejabat yang tanpa malu dipamerkan di media sosial. Video pesta, mobil sport, dan liburan mahal keluarga elit menjadi viral, disandingkan dengan potret perjuangan rakyat biasa yang bahkan harus mengadu nasib ke luar negeri untuk bertahan hidup.

Media sosial, platform yang coba dibungkam pemerintah, justru menjadi panggung yang menelanjangi kemunafikan mereka. Ini mengubah isu korupsi menjadi kemarahan personal dan visual. Ketidakadilan tidak lagi dibaca lewat data, tetapi ditonton lewat layar ponsel, menyebar dalam hitungan detik dan membakar emosi publik hingga ke titik didih.

Peringatan untuk Indonesia: Fenomena pamer kekayaan oleh pejabat atau keluarga mereka bukan lagi sekadar pelanggaran etika, melainkan ancaman keamanan nasional. Di negara dengan penetrasi digital yang masif, setiap jepretan kemewahan yang tak wajar adalah percikan api di tengah masyarakat yang berjuang dengan kenaikan harga dan sulitnya mencari kerja.

Sumbu Kedua: Generasi Muda Tanpa Masa Depan

Nepal memiliki bonus demografi, dengan 43% populasinya adalah anak muda. Namun, negara gagal menyediakan mereka pekerjaan dan harapan. Tingkat pengangguran pemuda yang meroket, sistem pendidikan dan kesehatan yang menyedihkan, serta keharusan untuk menjadi pekerja migran telah menciptakan satu generasi yang putus asa.

Generasi Z Nepal tidak merasakan perang saudara. Identitas mereka tidak dibentuk oleh ideologi politik lama, melainkan oleh pengalaman pahit hidup di bawah sistem yang korup dan tidak becus. Mereka menuntut hal-hal mendasar: pekerjaan, keadilan, dan kebebasan digital. Ketika pemerintah merespons tuntutan itu dengan peluru, mereka kehilangan legitimasi di mata generasi penentu masa depan.

Peringatan untuk Indonesia: Bonus demografi adalah pedang bermata dua. Tanpa penciptaan lapangan kerja berkualitas yang massal, jutaan pemuda Indonesia yang energik dan terhubung secara digital bisa berubah dari aset menjadi sumber frustrasi sosial. Perut yang lapar dan harapan yang pupus adalah bahan bakar paling berbahaya bagi gejolak sosial.

Sumbu Ketiga: Kepercayaan yang Mati pada Elit Politik

Rakyat Nepal telah kehilangan kepercayaan sepenuhnya pada seluruh kelas politik. Sejak perang usai pada 2006, politik hanya menjadi ajang rebutan kekuasaan antar elit yang sama, dengan 14 kali gonta-ganti pemerintahan tanpa ada perbaikan nasib rakyat. Janji-janji perdamaian dan demokrasi hanya menjadi slogan kosong yang memperkaya segelintir orang.

Karena itu, larangan media sosial tidak dilihat sebagai penegakan hukum, melainkan sebagai tindakan panik dari rezim yang korup untuk membungkam kritik dan menutupi boroknya. Ketika negara sudah tak lagi dipercaya, kebijakan apapun, sekecil apapun, bisa ditafsirkan sebagai bentuk penindasan dan memicu perlawanan total.

Peringatan untuk Indonesia: Stabilitas sebuah bangsa tidak dibangun di atas beton infrastruktur, tetapi di atas fondasi kepercayaan publik. Ketika kepercayaan itu terkikis oleh korupsi yang tak tersentuh, janji yang terus diingkari, dan hukum yang terasa tumpul ke atas, negara sedang menabung kerapuhan yang bisa pecah kapan saja.

Tragedi Nepal adalah pelajaran pahit bahwa di abad ke-21, kemarahan publik yang dimediasi teknologi bisa menumbangkan rezim dalam hitungan hari. Indonesia harus memadamkan sumbu-sumbu ini sekarang, sebelum terlambat. Caranya bukan dengan represi, tetapi dengan keadilan nyata, peluang ekonomi yang merata, dan tata kelola yang bersih serta berempati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun