Jakarta – Nepal terbakar. Bukan karena perang saudara seperti di masa lalu, tetapi karena kemarahan generasi baru yang merasa masa depannya dicuri. Runtuhnya pemerintahan di Kathmandu pada September 2025, yang dipicu oleh larangan media sosial, bukanlah sebuah kecelakaan. Itu adalah ledakan bom waktu yang sumbunya telah menyala selama bertahun-tahun.
Kisah Nepal bukanlah dongeng dari negeri jauh. Ia adalah cermin retak yang memantulkan bayang-bayang kerawanan kita sendiri. Larangan media sosial hanyalah percikan api; "bensin" yang menyulut api hingga meluluhlantakkan parlemen dan istana presiden adalah tumpukan kekecewaan yang juga sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia.
Ada tiga sumbu utama yang membuat bom waktu Nepal meledak. Tiga sumbu ini harus menjadi peringatan yang sangat serius bagi Indonesia.
Sumbu Pertama: Korupsi yang Dipamerkan, Kemarahan yang Diviralkan
Di era digital, korupsi bukan lagi sekadar angka kerugian negara yang abstrak. Di Nepal, ia berwujud nyata dalam fenomena "NepoKids"—gaya hidup super mewah anak-anak pejabat yang tanpa malu dipamerkan di media sosial. Video pesta, mobil sport, dan liburan mahal keluarga elit menjadi viral, disandingkan dengan potret perjuangan rakyat biasa yang bahkan harus mengadu nasib ke luar negeri untuk bertahan hidup.
Media sosial, platform yang coba dibungkam pemerintah, justru menjadi panggung yang menelanjangi kemunafikan mereka. Ini mengubah isu korupsi menjadi kemarahan personal dan visual. Ketidakadilan tidak lagi dibaca lewat data, tetapi ditonton lewat layar ponsel, menyebar dalam hitungan detik dan membakar emosi publik hingga ke titik didih.
Peringatan untuk Indonesia: Fenomena pamer kekayaan oleh pejabat atau keluarga mereka bukan lagi sekadar pelanggaran etika, melainkan ancaman keamanan nasional. Di negara dengan penetrasi digital yang masif, setiap jepretan kemewahan yang tak wajar adalah percikan api di tengah masyarakat yang berjuang dengan kenaikan harga dan sulitnya mencari kerja.
Sumbu Kedua: Generasi Muda Tanpa Masa Depan
Nepal memiliki bonus demografi, dengan 43% populasinya adalah anak muda. Namun, negara gagal menyediakan mereka pekerjaan dan harapan. Tingkat pengangguran pemuda yang meroket, sistem pendidikan dan kesehatan yang menyedihkan, serta keharusan untuk menjadi pekerja migran telah menciptakan satu generasi yang putus asa.
Generasi Z Nepal tidak merasakan perang saudara. Identitas mereka tidak dibentuk oleh ideologi politik lama, melainkan oleh pengalaman pahit hidup di bawah sistem yang korup dan tidak becus. Mereka menuntut hal-hal mendasar: pekerjaan, keadilan, dan kebebasan digital. Ketika pemerintah merespons tuntutan itu dengan peluru, mereka kehilangan legitimasi di mata generasi penentu masa depan.
Peringatan untuk Indonesia: Bonus demografi adalah pedang bermata dua. Tanpa penciptaan lapangan kerja berkualitas yang massal, jutaan pemuda Indonesia yang energik dan terhubung secara digital bisa berubah dari aset menjadi sumber frustrasi sosial. Perut yang lapar dan harapan yang pupus adalah bahan bakar paling berbahaya bagi gejolak sosial.