Mohon tunggu...
Mulia Nursulaina putri
Mulia Nursulaina putri Mohon Tunggu... pelajar

menggambar melukis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah

15 September 2025   06:38 Diperbarui: 15 September 2025   06:35 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berikut adalah resume yang saya buat dari dosen FDIKOM UIN Jakarta, yaitu Bapak Drs. Studi Rizal LK, MA.

Demonstrasi yang awalnya dipicu oleh larangan pemerintah terhadap sejumlah platform media sosial berkembang menjadigelombang protes besar yang melibatkan ribuan orang. Bagi rakyat Nepal, larangan itu bukan sekedar pembatasan akses digital, melainkan simbol dari kecendrungan negara yang kian membatasi ruang kebebasan.

Larangan media sosialn itu hanyalah pemicu, bukan akar masalah. Yang melatarbelakangi amarah public Adalah kekecewaan terhadap korupsi yang merajalela, nepotisme yang menutup kesempatan, dan jurang ketidakadilan yang semakin lebar. Ketika media sosial ditutup, negara sesungguhnya sedang memutus komunikasi dengan warganya.

Demonstrasi kemudian menjadi bahasa alternatif rakyat yang sudah kehilangan kanal formal. Namun negara Kembali menjawab bahasa rakyat itu dengan kekrasan. Peluru menjadi pesan, aparat menjadi komunikator, dan rakyat diperlakukan sebagai audiens yang harus diam.

Negara yang menolak kritik sejatinya sedang menolak rakyatnya sendiri. Dan Ketika rakyat kehilangan kepercayaan, stabilitas yang dijanjikan berubah menjadi kekosongan legitimasi. Keputusan pemerintah Nepal untuk akhirnya mencabut larangan media sosial tidak mampu menghapus trauma.

Belajar dari Nepal, kita diajak untuk melihat bahwa suara rakyat Adalah fondasi negara. Mengabaikannya sama dengan meruntuhkan dasar legitimasi sendiri. Negara bisa bertahan denggan senjata, tetapi ia tidak akan pernah kokoh tanpa kepercayaan.

Namun, Pelajaran ini tidak hanya unntuk Nepal. Negara lain, termasuk Indonesia, seharusnya bercermin. Kita pernah mengalami jalan berliku di maa suara rakyat dijawab dengan represi, dan kita tahu harga yang harus dibayar untuk sebuah transisi demokrasi.

Demokrasi yang berdarah adalah tanda bahwa komunikasi antara negara dan rakyat telah gagal total. Dan dari kegagalan itu, dunia seharusnya belajar, agar tragedi serupa tidak terulang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun