ABSTRAKÂ
Fenomena penggunaan World ID dan sistem verifikasi iris mata di Indonesia dari sudut pandang etika dan filsafat komunikasi. Di tengah pesatnya kemajuan ekonomi digital dan kecerdasan buatan, World ID menawarkan solusi untuk keamanan dan inklusi digital melalui teknologi biometrik untuk identitas digital. Namun, penggunaan teknologi ini menimbulkan beberapa risiko besar. Beberapa di antaranya adalah kemungkinan kebocoran data biometrik yang tidak dapat dihindari, risiko pengawasan massal, dan penggunaan ekonomi terhadap kelompok yang rentan melalui insentif keuangan. Untuk menganalisis potensi, risiko, dan tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyedia layanan World ID belum mengikuti etika komunikasi seperti transparansi, persetujuan sadar, dan keadilan sepenuhnya. Selain itu, kurangnya peraturan yang melindungi data pribadi dan kurangnya pengetahuan digital masyarakat memperburuk kerentanan terhadap eksploitasi data. Pemerintah Indonesia telah menghentikan operasi World ID untuk sementara waktu untuk memeriksa kepatuhan terhadap peraturan dan standar etika. Untuk mengizinkan pengembangan identitas digital yang aman, adil, dan bertanggung jawab di Indonesia, penelitian ini menyarankan penguatan undang-undang, pengajaran literasi digital, dan penerapan standar etika komunikasi.
Kata Kunci : World ID, verifikasi iris mata, data biometrik, perlindungan data pribadi
ABSTRACT
The phenomenon of using World ID and iris verification system in Indonesia from the perspective of ethics and philosophy of communication. Amidst the rapid advancement of the digital economy and artificial intelligence, World ID offers solutions for security and digital inclusion through biometric technology for digital identity. However, the use of this technology poses some major risks. Some of them are the unavoidable possibility of biometric data leakage, the risk of mass surveillance, and the economic use against vulnerable groups through financial incentives. To analyse the potential, risks, and challenges faced by Indonesians. The results of this study show that World ID service providers have not followed communication ethics such as transparency, informed consent, and fairness fully. In addition, the lack of regulations protecting personal data and people's lack of digital knowledge exacerbate vulnerability to data exploitation. The Indonesian government has temporarily suspended World ID's operations to check compliance with regulations and ethical standards. To allow for the safe, fair, and responsible development of digital identity in Indonesia, this research suggests strengthening laws, teaching digital literacy, and implementing ethical standards of communication.
Key Words : World ID, iris verification, biometric data, personal data protection
PENDAHULUAN
 World ID merupakan sistem identitas digital global yang dirancang oleh Worldcoin, sebuah proyek yang diinisiasi oleh Sam Altman, yang menjabat sebagai CEO OpenAI. Sistem ini memanfaatkan verifikasi biometrik, terutama melalui pemindaian iris mata menggunakan alat yang disebut Orb, untuk dengan aman dan secara anonim membedakan manusia yang asli dari robot atau kecerdasan buatan (AI). World ID tidak mengumpulkan nama, alamat, atau informasi pribadi lainnya; sebagai gantinya, sistem ini menciptakan kode enkripsi unik dari pemindaian iris, yang diklaim tidak dapat dihubungkan langsung dengan identitas pengguna. Di Indonesia, kehadiran World ID merupakan jawaban terhadap peningkatan kebutuhan untuk verifikasi identitas digital di era ekonomi digital dan AI. Sistem ini dipasarkan sebagai alternatif untuk mengurangi kasus penipuan identitas, pencurian identitas, serta serangan deepfake, dan juga mendukung inklusi digital yang lebih aman.
Namun, peluncuran World ID di Indonesia memicu kontroversi, terutama karena tawaran imbalan uang tunai kepada warga yang mau melakukan pemindaian iris, dengan nilai antara Rp300. 000 sampai Rp800. 000. Banyak orang, khususnya di Bekasi dan Tangerang, tertarik tanpa sepenuhnya memahami risiko yang ada seputar praktik ini. Namun, di balik potensi tersebut, muncul berbagai risiko dan tantangan serius yang perlu dikaji secara mendalam, terutama dari perspektif filsafat dan etika komunikasi. Data iris mata merupakan data biometrik yang sangat sensitif dan tidak dapat diubah, sehingga kebocoran atau penyalahgunaan data ini dapat menimbulkan dampak permanen bagi individu. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana teknologi seharusnya digunakan dan dikendalikan agar tidak melanggar hak privasi dan kedaulatan data pribadi warga negara.
Secara filosofis, interaksi antara manusia dan teknologi biometrik ini membuka ruang refleksi tentang hakikat identitas dan eksistensi manusia di era digital. Verifikasi menggunakan iris mata bukan sekadar proses teknis, melainkan juga sebuah bentuk komunikasi simbolik antara individu dengan sistem digital yang merepresentasikan dirinya secara unik. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana manusia mempertahankan otonomi dan kontrol atas data pribadinya dalam hubungan yang semakin kompleks dengan teknologi.
Dari sisi etika komunikasi, pengumpulan data biometrik melalui pemindaian iris mata harus mempertimbangkan prinsip transparansi, persetujuan sadar, dan keadilan. Iming-iming kompensasi finansial yang diberikan kepada masyarakat yang bersedia memindai irisnya menimbulkan kekhawatiran akan eksploitasi data dan ketimpangan informasi. Apakah masyarakat benar-benar memahami risiko yang mereka hadapi, dan sejauh mana mereka memiliki kontrol atas data yang telah diberikan? Ini menjadi tantangan etis yang harus dijawab oleh pengelola teknologi dan regulator.
Di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital telah mengambil langkah tegas dengan membekukan sementara operasi World ID dan memanggil pihak penyelenggara untuk mendalami metode pengumpulan dan pengelolaan data biometrik. Hal ini menunjukkan bahwa negara berupaya menjaga kedaulatan data dan melindungi warga negara dari potensi penyalahgunaan data biometrik yang dapat merugikan secara sosial dan hukum. Namun, proses pengawasan ini juga harus diimbangi dengan dialog terbuka dan edukasi kepada masyarakat agar pemanfaatan teknologi dapat berjalan dengan etis dan bertanggung jawab.
TUJUAN
      Dari sudut pandang filsafat dan etika komunikasi, tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang potensi, risiko, dan kesulitan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat menerapkan sistem World ID dan verifikasi iris mata. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi secara kritis bagaimana pengurangan identitas manusia menjadi data biometrik yang terenkripsi dan statis membawa konsekuensi filosofis terhadap interpretasi identitas, otonomi, dan kebebasan manusia di era digital. Selain itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis secara menyeluruh masalah etis dan komunikasi yang muncul saat membangun kepercayaan masyarakat terhadap teknologi verifikasi biometrik. Isu-isu tersebut terutama berkaitan dengan eksploitasi ekonomi, kesalahan dalam literasi digital, dan kemungkinan pelanggaran persetujuan sadar yang disebabkan oleh dorongan finansial. Selain itu, penelitian ini menekankan dan mengevaluasi penerapan etika komunikasi seperti transparansi, keadilan, dan perlindungan privasi dalam proses pengumpulan, pengelolaan, dan penyebaran data biometrik oleh World ID. Penelitian juga mengevaluasi seberapa efektif prinsip-prinsip ini diterapkan di Indonesia. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari masalah yang terkait dengan peraturan dan pengawasan penggunaan teknologi biometrik di Indonesia. Hal-hal seperti apakah orang harus mematuhi UU Perlindungan Data Pribadi, apakah penyelenggara sistem elektronik memiliki status hukum, dan seberapa baik pemerintah mengawasi keamanan dan kedaulatan data nasional. Diharapkan bahwa penelitian ini akan memberikan gambaran konseptual dan empiris tentang dampak sosial, ekonomi, dan hukum dari penerapan sistem verifikasi iris mata. Penelitian ini juga akan menghasilkan saran kebijakan untuk meningkatkan perlindungan data pribadi dan literasi digital masyarakat. Akibatnya, penelitian ini tidak hanya akan menambah literatur tentang filsafat dan etika komunikasi tentang teknologi biometrik di Indonesia, tetapi juga akan memberikan manfaat praktis untuk perubahan kebijakan publik, penguatan undang-undang, dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang bagaimana pengembangan identitas digital dapat dilakukan secara aman, adil, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.
METODE
      Metode studi literature mungkin sangat relevan dalam meneliti masalah "World ID dan sistem verifikasi iris mata di Indonesia", karena memungkinkan peneliti untuk membangun pemahaman yang komprehensif berdasarkan sumber ilmiah, peraturan, dan laporan empiris yang telah ada. Peneliti dapat mempelajari teori komunikasi dan etika, serta pengalaman negara lain dengan penggunaan data biometrik dan perlindungan data pribadi dengan membaca literatur. Metode ini digunakan dalam makalah berjudul "Kajian Filsafat dan Etika Komunikasi World ID dan Sistem Verifikasi Iris Mata: Potensi, Risiko, dan Tantangan di Indonesia" untuk menemukan ancaman utama, seperti kemungkinan kebocoran data dan eksploitasi ekonomi. Selain itu, dibahas bagaimana prinsip transparansi dan persetujuan sadar harus diterapkan. Studi literatur juga membantu menunjukkan kekurangan peraturan dan kebutuhan pendidikan literasi digital. karena temuan penelitian tidak hanya bersifat teoretis tetapi juga relevan untuk kebijakan dan perlindungan masyarakat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
 Risiko utama yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia terkait penggunaan data biometrik iris mata dalam sistem World ID berkaitan erat dengan sifat data biometrik yang bersifat sangat sensitif dan tidak bisa diubah. Jika data iris mata tersebut bocor atau disalah gunakan, individu tidak akan dapat menggantinya seperti saat mereka mengubah sebuah kata sandi. Hal ini meningkatkan potensi pencurian identitas dan penyalahgunaan data yang bisa berlangsung selamanya. Kebocoran informasi ini dapat mengakibatkan akses ilegal ke berbagai layanan penting, mulai dari perbankan hingga fasilitas kesehatan, serta memberi kesempatan kepada pelaku kejahatan untuk melakukan penipuan atau penyamaran yang mengakibatkan kerugian finansial dan sosial bagi korban.
Selain itu, penerapan data biometrik iris mata juga membuka kemungkinan besar untuk pengawasan massal dan pelanggaran privasi. Data yang terkumpul dapat digabungkan dengan teknologi pengenalan wajah dan kamera canggih untuk memantau pergerakan dan aktivitas individu tanpa izin, yang dapat membahayakan kebebasan dan hak asasi manusia. Risiko lain yang juga patut dicatat adalah kemungkinan komersialisasi data biometrik, di mana informasi pribadi dapat dijual atau digunakan untuk analisis perilaku konsumen secara tidak etis. Hasilnya, situasi ini menjadi semakin serius oleh karena regulasi perlindungan data yang masih lemah dan belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia, sehingga masyarakat perlu lebih hati-hati dan kritis dalam memberikan data biometrik iris mata kepada penyedia teknologi seperti World ID.
Terkait Bagaimana teknologi verifikasi iris mata berdampak pada keamanan data di sektor perbankanApa keuntungan dari penggunaan teknologi verifikasi iris mata dibandingkan metode verifikasi lainnya Bagaimana teknologi Orb berfungsi dalam memindai iris mata secara rinci Apa saja langkah-langkah yang diterapkan untuk menjaga keamanan data dalam teknologi verifikasiÂ
iris mata Bagaimana teknologi verifikasi iris mata dapat terintegrasi dengan sistem keamanan yang lain. Berikut adalah risiko utama yang akan dihadapi masyarakat Indonesia terkait penggunaan data biometric iris mata dalam sistem World ID :
1. Dilarang di Sejumlah Negara
Tak hanya di Indonesia, Worldcoin juga menghadapi hambatan di berbagai negara. Eko menjelaskan bahwa beberapa negara telah melarang atau sedang menyelidiki proyek ini karena persoalan privasi. Misanya, pada Januari 2025, Brasil menghentikan aktivitas Worldcoin karena dianggap melakukan pelanggaran privasi massal, terutama karena menggunakan iming-iming hadiah kripto. Di Kenya, operasi Worldcoin juga dihentikan setelah pemerintah menemukan bahwa persetujuan pengguna diperoleh melalui manipulasi keuangan.
2. Imbauan Komdigi untuk Warga
Komdigi mengingatkan masyarakat untuk aktif menjaga ruang digital yang aman dan terpercaya bagi semua warga negara. Masyarakat diminta waspada terhadap berbagai layanan digital yang tidak sah dan segera melaporkan bila menemukan pelanggaran ke kanal pengaduan resmi.
Menurut pakar keamanan digital Bruce Schneier, perlindungan data pribadi juga sangat bergantung pada kesadaran individu. Untuk itu, Komdigi mengajak semua warga menjadi pengguna yang cerdas dan "melek teknologi", agar dapat menilai apakah suatu aplikasi berpotensi mengandung perangkat lunak berbahaya (malware) atau dimanfaatkan untuk tujuan jahat.
3. Ancaman Serius terhadap Data Pribadi
Bahwa risiko paling berbahaya dari aktivitas seperti ini adalah potensi penyalahgunaan data pribadi yang sangat rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan siber (cyber crime). Belakangan ini, marak kasus pencurian identitas (identity theft), penipuan melalui phishing, kejahatan kartu kredit (carding), hingga penyalahgunaan kode OTP (one-time password). Semua itu bisa berujung pada kerugian finansial bagi korban. Selain itu, data pribadi yang jatuh ke tangan yang salah bisa digunakan untuk menyebarkan konten ilegal seperti pornografi, isu SARA, dan ujaran kebencian yang merugikan individu maupun kelompok tertentu.
Penggunaan sistem verifikasi iris mata mengandung risiko sosial yang sangat besar, termasuk kebocoran data yang dapat bersifat permanen, ancaman pengawasan yang luas, serta potensi eksploitasi ekonomi terhadap kelompok yang rentan, ditambah dengan kurangnya regulasi dan kemungkinan penyalahgunaan data. Meskipun ada keuntungan seperti peningkatan keamanan untuk identitas digital dan upaya mencegah akun-akun yang tidak valid, manfaat ini hanya akan terasa jika pengelolaan data dilakukan dengan baik, transparan, aman, dan diawasi dengan ketat oleh lembaga pengawas yang independen. Tanpa adanya perlindungan danÂ
pendidikan yang cukup, masyarakat akan berisiko menjadi target eksploitasi digital dan kehilangan kontrol atas data pribadi mereka untuk selamanya. Dampak sosial dari penggunaan sistem verifikasi iris mata terhadap masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Risiko Privasi dan Keamanan Data
Data biometrik seperti iris mata bersifat sangat sensitif, unik, dan tidak dapat diubah. Jika terjadi kebocoran, risiko penyalahgunaan identitas sangat tinggi dan dampaknya bisa berlangsung seumur hidup, berbeda dengan password atau nomor telepon yang bisa diganti. Data biometrik yang bocor juga dapat diperjualbelikan kepada perusahaan untuk kepentingan komersial, seperti iklan bertarget atau manipulasi perilaku konsumsi.
2. Ketimpangan Sosial dan Eksploitasi Ekonomi
 Penawaran insentif finansial untuk pemindaian iris mata menarik banyak masyarakat, khususnya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, yang rela antre demi imbalan tanpa memahami risiko jangka panjang.
3. Kekhawatiran Pengawasan dan Pelacakan Digital
Data iris mata dapat digunakan bersama teknologi pengenalan wajah dan kamera pintar untuk melakukan pengawasan massal dan pelacakan pergerakan masyarakat tanpa sepengetahuan mereka, sehingga mengancam privasi public.
 Meskipun World ID mengklaim menggunakan teknologi privasi dan enkripsi untuk menjaga data biometrik iris mata, metode pengumpulan data di Indonesia menunjukkan kurangnya kejelasan dan kemungkinan masalah dalam mendapatkan persetujuan yang informasional dari pengguna. Pemerintah Indonesia saat ini sedang melakukan evaluasi mendalam dan mungkin akan menghentikan secara permanen operasi World ID jika tidak memenuhi standar etika komunikasi dan peraturan perlindungan data pribadi yang ada.
Berikut adalah prinsip-prinsip etika komunikasi diterapkan dalam pengumpulan, pengelolaan, dan penyebaran data biometrik iris mata oleh World ID, khususnya terkait transparansi dan persetujuan sadar pengguna :
1. Transparansi
World ID mengklaim menggunakan teknologi enkripsi dan protokol privasi canggih, seperti bukti tanpa pengetahuan (zero-knowledge proof), untuk melindungi data iris mata pengguna dan tidak menyimpan foto atau data biometrik secara langsung di jaringan mereka. Namun, Komisi Komunikasi dan Digital Indonesia (Komdigi) menemukan bahwa World telah mengumpulkan data iris lebih dari 500 ribu pengguna di Indonesia sejak 2021 tanpa kepatuhan penuh terhadap regulasi perlindungan data pribadi dan tanpa pendaftaran resmi sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang diwajibkan oleh hukum Indonesia Hal iniÂ
menunjukkan adanya ketidakjelasan dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan data biometrik, terutama terkait status legal operasional dan mekanisme perlindungan data yang sebenarnya diterapkan.
2. Persetujuan Sadar Pengguna Pengumpulan data iris mata
Ini dilakukan dengan iming-iming insentif finansial yang menarik banyak masyarakat, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, yang berpotensi mengaburkan persetujuan yang benar-benar sadar dan informatif Pemerintah Indonesia, melalui Komdigi, menangguhkan sementara layanan World ID dan Worldcoin untuk mengevaluasi aspek kepatuhan hukum dan etika pengelolaan data pribadi, termasuk memastikan bahwa persetujuan pengguna diberikan secara sadar dan berdasarkan informasi yang cukup.
 Implementasi World ID di Indonesia menghadapi tantangan regulasi yang signifikan, terutama dalam hal kepatuhan terhadap UU Perlindungan Data Pribadi, legalitas penyelenggara sistem elektronik, dan perlindungan privasi data biometrik yang sangat sensitif. Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah pembekuan operasi sebagai respons atas ketidakpatuhan dan potensi risiko privasi, sekaligus mendorong penguatan regulasi dan kedaulatan data nasional agar teknologi identitas digital dapat berkembang secara aman dan bertanggung jawab di dalam negeri
Tantangan Regulasi dan Perlindungan Data Pribadi dalam Implementasi World ID di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kepatuhan terhadap UU Perlindungan Data Pribadi Di Indonesia
Pengelolaan data biometrik seperti iris mata diatur oleh UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang mensyaratkan pengolahan data pribadi spesifik harus memenuhi prinsip kejelasan tujuan, persetujuan eksplisit, dan pengendalian akses yang ketat, World ID, yang mengumpulkan data biometrik iris mata, menghadapi tantangan besar dalam memenuhi persyaratan ini, terutama karena data biometrik termasuk kategori data yang sangat sensitif dan memerlukan perlindungan ekstra.
2. Status Legal dan Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE)
Operasional World ID di Indonesia dijalankan oleh entitas lokal, seperti PT Terang Bulan Abadi dan PT Sandina Abadi Nusantara, yang menurut Kominfo dan Komdigi belum terdaftar atau menggunakan izin yang tidak sesuai dengan badan hukum yang berwenang, Ketidakpatuhan ini melanggar Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 dan Permen Kominfo No. 10 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik, yang mengharuskan penyelenggara sistem elektronik memiliki legalitas dan tanggung jawab operasional yang jelas Akibatnya, pemerintah membekukan sementara tanda daftar penyelenggaraan sistem elektronik (TDPSE) Worldcoin dan World ID sebagai langkah preventif untuk melindungi ruang digital nasional.
3. Tindakan Pemerintah dan Evaluasi Regulasi
 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengambil langkah tegas dengan membekukan sementara operasi World ID dan Worldcoin, serta memanggil entitas terkait untuk meminta penjelasan dan memastikan kepatuhan terhadap regulasi perlindungan data pribadi dan penyelenggaraan sistem elektronik. Langkah ini merupakan upaya preventif untuk mencegah potensi risiko terhadap masyarakat dan menjaga integritas ruang digital nasional.
Tantangan utama dalam interaksi antara penyedia teknologi dan masyarakat Indonesia terkait penggunaan sistem verifikasi melalui iris mata terletak pada rendahnya tingkat pemahaman digital dan kesadaran privasi di kalangan masyarakat. Banyak individu yang tidak menyadari dampak jangka panjang dari pengumpulan data biometrik yang bersifat permanen, sehingga mereka mudah tergoda dengan imbalan finansial tanpa menyadari risiko yang mungkin timbul, seperti pencurian identitas atau penyalahgunaan informasi. Selain itu, kurangnya keterbukaan dari penyedia teknologi tentang pengelolaan data serta lemahnya peraturan perlindungan data di Indonesia semakin menambah keraguan masyarakat terhadap teknologi ini.
Di samping faktor-faktor tersebut, pendekatan komunikasi yang tidak kontekstual dan tidak memperhatikan budaya serta kebutuhan masyarakat juga menjadi kendala besar dalam membangun kepercayaan. Penyedia teknologi kerap kali menggunakan istilah teknis yang sulit dimengerti dan jarang melibatkan tokoh masyarakat atau lembaga yang independen dalam proses sosialisasi, sehingga pesan-pesan edukasi menjadi sulit diterima secara luas. Untuk menghadapi masalah ini, diperlukan pendekatan komunikasi yang lebih sederhana dan sesuai, pendidikan publik yang meluas, keterbukaan dalam pengelolaan data, serta peningkatan regulasi agar masyarakat dapat memahami, mempercayai, dan menggunakan teknologi verifikasi iris mata dengan aman dan bertanggung jawab.
Berikut adalah Tantangan Komunikasi antara Penyedia Teknologi dan Masyarakat Indonesia dalam Membangun Kepercayaan dan Literasi Digital terkait Sistem Verifikasi Iris Mata yaitu :
1. Kurangnya komunikasi yang efektif dan transparan
Meskipun kemajuan teknologi mengizinkan tingkat koneksi yang tinggi, sering kali penyedia layanan teknologi tidak dapat memberikan penjelasan yang jelas dan detail terkait cara sistem verifikasi iris mata berfungsi, keuntungan, dan risikonya. Akibatnya, masyarakat merasa kesulitan untuk memahami dampak penggunaan data biometrik, yang akhirnya menimbulkan rasa skeptis.
2. Kesenjangan literasi digital dan akses informasi
Tidak meratanya akses internet dan perbedaan tingkat pemahaman digital di berbagai wilayah dan kelompok masyarakat menghambat penyebaran informasi yang tepat dan lengkap.Â
Banyak pengguna yang kurang paham risiko dan hak-hak mereka terkait data biometrik, sehingga persetujuan yang diberikan bisa kurang sadar.
3. Etika komunikasi dan kepercayaan publik
Penyedia teknologi perlu mengedepankan etika komunikasi yang transparan, jujur, dan menghormati hak pengguna agar dapat membangun kepercayaan. Praktik komunikasi yang manipulatif atau kurang informatif, termasuk penggunaan insentif finansial tanpa penjelasan risiko yang memadai, dapat merusak reputasi dan kepercayaan masyarakat.
4. Pengaruh media sosial dan perubahan gaya komunikasi
Era digital mengubah cara berkomunikasi menjadi lebih singkat dan kurang personal, seperti penggunaan emoji dan pesan singkat yang dapat mengurangi kedalaman pemahaman. Hal ini berpotensi menyebabkan miskomunikasi dan kesalahpahaman antara penyedia teknologi dan masyarakat.
Penggunaan sistem verifikasi iris mata mengandung risiko sosial yang sangat besar, termasuk kebocoran data yang dapat bersifat permanen, ancaman pengawasan yang luas, serta potensi eksploitasi ekonomi terhadap kelompok yang rentan, ditambah dengan kurangnya regulasi dan kemungkinan penyalahgunaan data. Meskipun ada keuntungan seperti peningkatan keamanan untuk identitas digital dan upaya mencegah akun-akun yang tidak valid, manfaat ini hanya akan terasa jika pengelolaan data dilakukan dengan baik, transparan, aman, dan diawasi dengan ketat oleh lembaga pengawas yang independen. Tanpa adanya perlindungan dan pendidikan yang cukup, masyarakat akan berisiko menjadi target eksploitasi digital dan kehilangan kontrol atas data pribadi mereka untuk selamanya.
KAJIAN TEORI
Teori komunikasi merupakan landasan penting dalam memahami bagaimana teknologi biometrik seperti sistem verifikasi iris mata dan World ID berinteraksi dengan masyarakat. Salah satu teori utama yang relevan adalah teori komunikasi sibernetik, yang menyoroti proses pengiriman, penerimaan, dan pengolahan informasi antara manusia dan mesin. Dalam konteks World ID, proses komunikasi terjadi ketika data biometrik (iris mata) dikumpulkan, dikodekan, dan dikirimkan ke sistem digital untuk diverifikasi. Proses ini tidak hanya melibatkan transfer data, tetapi juga membangun relasi baru antara individu dan sistem digital, di mana identitas manusia direpresentasikan dalam bentuk data yang dapat diverifikasi secara otomatis. Berikut beberapa teori yang berkaitan dengan World ID dan Sistem Verifikasi Iris Mata : Potensi, Resiko, dan Tantangan di Indonesia :
1. Teori Komunikasi Sibernetik
 Teori ini berfokus pada proses komunikasi antara manusia dan mesin seperti penerimaan, pengiriman, dan pengolahan data. Komunikasi sekarang terjadi tidak hanya antara manusia dan sistem digital dalam hal World ID dan verifikasi iris mata. Data biologis diubah menjadi kode digital dan dikirim ke server pusat untuk diverifikasi selama pemindaian iris. Teori ini membantu memahami bagaimana data biometrik diproses dan diintegrasikan dalam sistem komunikasi digital kontemporer karena proses ini mencerminkan model komunikasi sibernetik, yang terdiri dari pengirim (individu), pesan (data biometrik), saluran (perangkat pemindai dan jaringan internet), penerima (sistem World ID), dan umpan balik (hasil verifikasi).
2. Teori difusi inovasi
 Everett Rogers, yang menjelaskan bagaimana kemajuan teknologi menyebar dan diterima oleh masyarakat. Beberapa faktor memengaruhi penggunaan teknologi verifikasi iris mata oleh World ID di Indonesia. Ini termasuk keunggulan komparatif (lebih aman daripada password biasa), kompatibilitas (memenuhi kebutuhan masyarakat digital), kompleksitas (mempermudah penggunaan), kemungkinan uji coba, dan observabilitas (pengaruh yang dapat dilihat secara langsung). Karena ada insentif finansial untuk melakukan pemindaian iris, banyak masyarakat belum memahami manfaat dan risiko teknologi. Media Massa dan media sosial memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi tentang sistem verifikasi iris mata dan World ID. Menurut teori difusi inovasi, agen perubahan (change agents), seperti pengaruh, media, dan pemerintah, memiliki kemampuan untuk mempercepat atau memperlambat adopsi inovasi melalui cerita yang mereka buat. Jika media lebih banyak menyoroti kontroversi dan bahaya, adopsi teknologi akan melambat. Sebaliknya, jika manfaat teknologi ditampilkan, masyarakat cenderung menerimanya tanpa mempertimbangkan.
 Dengan memahami keterkaitan antara teori komunikasi sibernetik, dan teori difusi inovasi, kita dapat mengidentifikasi strategi komunikasi yang paling efektif untuk menghadapi tantangan etis, sosial, dan teknis dalam implementasi World ID dan verifikasi iris mata di Indonesia. Pendekatan multidisiplin ini tidak hanya memperkuat perlindungan data pribadi, tetapi juga memastikan bahwa inovasi teknologi dapat diterima dan dimanfaatkan secara bertanggung jawab oleh seluruh lapisan masyarakat.
Adapun keterkaitannya dengan Etika Filsafat dan Etika Komunikasi yang relevan, berikut keterkaitannya :
1. Reduksi Identitas Manusia
 Replikasi digital dan statis identitas manusia dengan data biometrik seperti iris mata Ini menimbulkan pertanyaan filosofis tentang martabat manusia jika identitasnya direduksi menjadi data. Menurut (Heidegger 1977), teknologi bukan hanya alat tetapi juga "cara manusia hadir di dunia". Teknologi bukan hanya alat, tetapi juga cara manusia hadir dan berelasi dalam dunia.Â
Penggunaan teknologi biometrik menimbulkan pertanyaan mendasar tentang hakikat manusia dan relasi kuasa dalam masyarakat digital.(Harper, 1977)
2. Otonomi dan Persetujuan Sadar
Etika filsafat menekankan pentingnya otonomi dan persetujuan sadar. Jika masyarakat memberikan data iris demi insentif finansial tanpa pemahaman utuh, maka terjadi pelanggaran terhadap prinsip otonomi dan martabat manusia (Kant, 1785). Untuk menjaga otonomi moral individu di masyarakat digital, setiap proses pengumpulan data pribadi, terutama data biometrik yang abadi, memerlukan persetujuan yang sadar dan transparansi penuh. (Widya Padjadjaran, 2013;112)
3. Relasi Kuasa dan Pengawasan
Foucault menyoroti potensi relasi kuasa baru antara individu dan institusi yang mengelola data, yang dapat menciptakan pengawasan massal dan mengancam kebebasan individu. (Foucault, Michel. 1977; 201)
4. Persetujuan Sadar (Informed Consent)
Jika seseorang memberikan persetujuan, itu harus dilakukan secara sadar dan bukan karena insentif ekonomi. Jika tidak, itu akan melanggar prinsip persetujuan sadar.
Dalam pengumpulan data biometrik, prinsip persetujuan informasi menjadi sangat penting. Tanpa persetujuan yang benar-benar sadar, proses digitalisasi identitas dapat berujung pada eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia.
5. Keadilan dan Non-Eksploitasi
Penawaran insentif kepada kelompok rentan tanpa edukasi yang memadai dapat menjadi bentuk eksploitasi. "Ketimpangan literasi digital di masyarakat berpotensi memperbesar risiko eksploitasi data biometrik, karena sebagian besar pengguna tidak memahami implikasi jangka panjang dari pemberian data iris mata kepada pihak ketiga." (Putra, R. A. 2024;74)
Penggunaan sistem verifikasi iris mata mengandung risiko sosial yang sangat besar, termasuk kebocoran data yang dapat bersifat permanen, ancaman pengawasan yang luas, serta potensi eksploitasi ekonomi terhadap kelompok yang rentan, ditambah dengan kurangnya regulasi dan kemungkinan penyalahgunaan data. Meskipun ada keuntungan seperti peningkatan keamanan untuk identitas digital dan upaya mencegah akun-akun yang tidak valid, manfaat ini hanya akan terasa jika pengelolaan data dilakukan dengan baik, transparan, aman, dan diawasi dengan ketat oleh lembaga pengawas yang independen. Tanpa adanya perlindungan dan pendidikan yang cukup, masyarakat akan berisiko menjadi target eksploitasi digital dan kehilangan kontrol atas data pribadi mereka untuk selamanya.
KESIMPULAN
 Penggunaan sistem verifikasi iris mata melalui World ID di Indonesia memberikan solusi baru untuk masalah identitas digital di era digital dan kecerdasan buatan. Sistem ini dikatakan mampu meningkatkan keamanan, menghindari penipuan identitas, dan memfasilitasi inklusi digital. Namun, di balik manfaat yang dijanjikan, terdapat risiko signifikan yang perlu diwaspadai, terutama terkait potensi kebocoran dan penyalahgunaan data biometrik yang bersifat permanen, kemungkinan terjadinya pengawasan massal, serta eksploitasi ekonomi terhadap kelompok yang belum sepenuhnya memahami risiko jangka panjang dari pengiriman data biometrik.
Tantangan utama yang harus dihadapi terdiri dari rendahnya tingkat literasi digital dan kesadaran akan privasi di masyarakat, kurangnya transparansi dari penyedia teknologi, lemahnya regulasi perlindungan data, serta metode komunikasi yang belum sesuai konteks dan mudah dipahami oleh masyarakat. Di samping itu, praktik memberikan insentif finansial untuk menarik partisipasi masyarakat berisiko mengeksploitasi kelompok ekonomi yang rentan. Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah pencegahan dengan menghentikan sementara operasional World ID sambil menunggu regulasi dan standar keamanan yang lebih baik.
Agar keuntungan dari sistem identitas digital seperti World ID bisa dirasakan tanpa menimbulkan dampak negatif, diperlukan pengelolaan data yang jelas, aman, dan diatur dengan ketat. Edukasi publik yang luas dan komunikasi yang tepat juga sangat penting untuk membangun kepercayaan serta meningkatkan pemahaman digital di kalangan masyarakat. Dengan cara ini, teknologi biometrik dapat diterapkan secara etis, bertanggung jawab, dan memang memberikan perlindungan serta keuntungan bagi semua lapisan masyarakat di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Heru. (2025, Mei 5). pengamat data biometrik. Retrieved from bloombergtechnoz: https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/70666/pengamat-data-biometrik-penjagaan-terakhir-yang-lain-sudah-bocor/2
Natsir, M. (2025, Mei 11). Wah! WorldCoin Sudah Ambil 500 Ribu Data Retina Mata di Indonesia. Retrieved from emitennews: https://www.emitennews.com/news/wah-worldcoin-sudah-ambil-500-ribu-data-retina-mata-di-indonesia
Prastiwi, M. (2025, Mei 10). Dosen Universitas Pertamina Ungkap Risiko Jual Data Biometrik Retina Mata. Retrieved from kompas: https://www.kompas.com/edu/read/2025/05/10/090400171/dosen-universitas-pertamina-ungkap-risiko-jual-data-biometrik-retina-mata-
Rifazka, A. (2025, Mei 5). Worldcoin, Regulasi Digital, dan Peluang Strategis Indonesia dalam Ekonomi Identitas. Retrieved from digitaltransformation: https://digitaltransformation.co.id/worldcoin-regulasi-digital-dan-peluang-strategis-indonesia-dalam-ekonomi-identitas/
Rosa, M. C. (2025, Mei 6). Ramai Warga Pindai Retina demi Uang Tunai, Ini Bahaya dan Risiko di Balik Worldcoin. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/05/06/201353588/ramai-warga-pindai-retina-demi-uang-tunai-ini-bahaya-dan-risiko-di indonesia
Rumabar, C. (2025, Mei 7). Mengenal World App dan Tantangan Indonesia Diera Digital. Retrieved from rri: https://rri.co.id/iptek/1501722/mengenal-world-app-dan-tantangan-indonesia-diera-digital
Wihadi. (2025, Mei 11). Polemik Worldcoin, Pemindaian Iris Mata, dan Risiko Privasi Biometrik Global. Retrieved from fmipaunesa: https://pendidikan-sains.fmipa.unesa.ac.id/post/polemik-worldcoin-pemindaian-iris-mata-dan-risiko-privasi-biometrik-global
Wuni, A. (2025, Mei 6). Apa Bahaya Scan Iris Mata Usai World App Viral di Media Sosial? Retrieved from cnnindonesia: https://indodax.com/academy/bahaya-scan-iris-mata/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI