Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Alternatif Tambahan Selain Nonton Film G30S/PKI

3 Februari 2024   20:40 Diperbarui: 3 Februari 2024   20:43 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: di X: "sesungguhnya nama asli Karl Marx adalah Hadratus Syaikh Khair El Marq 

               Film G30S/PKI sempat menjadi tontonan wajib, lagi. Ya, lagi. Setelah sebelumnya di orde baru menjadi tontonan wajib. Baru kemudian di hidupkan lagi pada tahun 2017-an oleh jenderal Gatot Nurmantyo. Hal ini berdasarkan pertimbangan beliau bahwa PKI bangkit kembali. Entah itu benar-benar bangkit, atau sebuah ilusi ketakutan belaka. Bahkan suudzannya kebijakan itu sebuah tindakan politis untuk menggoyang rezim Jokowi saat itu.

Husnudzan saja kalau maksud beliau itu agar tragedi berdarah itu tidak dilupakan oleh anak-anak muda yang tidak mengalaminya secara langsung. Sehingga tetap waspada dan tidak lengah terhadap kemungkinan bangkitnya kembali ideologi komunis yang menjadi gerakan berdarah. Meskipun, demi keadilan, pasca reformasi berbagai upaya untuk mengembalikan hak pada keturunan anggota PKI yang suci dari dosa dan orang-orang yang tertuduh PKI adalah sebuah tindakan yang tepat.

               Saya yang waktu itu tinggal di pondok pesantren mengalami nobar film G30S/PKI di masa Jenderal Gatot menjabat. Isu bangkitnya PKI begitu viral sehingga banyak lembaga khususnya pesantren yang melaksanakan anjuran sang jenderal. Apalagi ditambah dengan maraknya desas-desus lain yang masih berkaitan yakni tentang upaya pembunuhan kyai oleh orang tak dikenal. Menonton film ini merupakan kali kedua bagi saya menonton film yang terkenal dengan kalimat percakapan "Jawa adalah koentji" dan "darah itu merah jenderal". Setelah jauh sebelum ada anjuran dari Sang Jenderal pernah menontonnya dari Ibu yang guru PKn.

               Terlepas dari isu anjuran Jenderal Gatot ini sebagai upaya politis untuk menyudutkan Jokowi saat itu. Sebenarnya saya setuju untuk penayangan film-film sejarah yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat khususnya anak muda yang jauh dari mengalami kejadian-kejadian sejarah yang sangat berdampak pada masa sekarang. Tentunya dengan sudut pandang yang diperluas dari berbagai sisi. Sehingga tidak membuka luka lama yang sedang diusahakan sembuh.

               Sebagai contoh, di keluarga saya saja masih ada yang begitu antipatinya terhadap term-term sosialisme. Bahkan Saya sempat dipermasalahkan oleh guru MTs Saya yang terhitung masih berusia di bawah setengah abad perihal postingan Jokes Saya yang padanya ada foto Karl Marx menggunakan sorban yang dililitkan pada kepala. Miris bukan? Jokes saja dianggap sebegitu seriusnya. Husnudzan Saya, perilaku ini diakibatkan korban propaganda Orde Baru yang mewajibkan penayangan film G30S/PKI setiap tanggal 30 September sepanjang tahunnya tanpa ada sudut pandang lain yang tersedia.

Ini gambar yang saya posting, saya kasih judul, Syaikh Marx:

               Maka menurut saya, hendaknya ada alternatif tambahan di samping film G30S/PKI yang dijadikan sebagai film anjuran atau bahkan wajib untuk memperingati tanggal-tanggal tertentu. Karena meskipun setiap kejadian sejarah terabadikan melalui tulisan khususnya di mata pelajaran sekolah. Efek dramatis dari tulisan itu tidak sehebat yang disampaikan melalui film. Sedangkan setiap peristiwa sejarah bukan mengandung ingatan saja tapi juga perasaan. Dengan kekuatan perasaan ini timbullah energi, daya, dan upaya maksimal di kalangan anak muda untuk membangun masa depan yang lebih cerah.

               Upaya terdekat yang bisa dilakukan tentunya bisa Kita mulai dari pendidikan keluarga, sekolah, produser film, hingga pemerintah itu sendiri. Tugas dari keluarga maupun sekolah diantaranya ialah dengan memilah dan memilih film sejarah mana saja yang bisa ditonton bersama. Pemerintah meregulasi dan mendukung produksi semua film sejarah dari berbagai sudut pandang. Produser film sebenarnya terlihat beberapa kali berusaha masuk ke pasar film sejarah lawan arus. Hanya saja menanti kesiapan pemerintah dalam mendukung pembiayaan, pemasaran, dan faktor lainnya yang mendukung profit dari film sejarah lawan arus ini.

Yang saya maksud dari sejarah lawan arus ini maksudnya yang melawan arus utama sejarah selama ini (mainstream). Sehingga tayangan-tayangan sejarah itu minimal ada satu sudut pandang yang berbeda. Semisal arus utama sejarah yang mengenalkan heroisme Soekarno, dengan film yang berlatar perlawanan terhadap Soekarno. Contohnya antara film Soekarno (2013) dengan film Gie (2005). Atau heroisme Soeharto di peristiwa G30S/PKI dengan film dijatuhkannya Soeharto pada film dokumenter Student Movement in Indonesia (2002).

Saya harap, dengan beberapa gagasan perfilman yang tidak ilmiah ini bisa menjawab para sepuh yang mengeluhkan anak muda. Dimana frasa template yang suka mereka gunakan ialah "dulu", "kalau kamu tahu", dan "anak muda sekarang mah gak ngalamin". Ya memang tidak mengalami. Sehingga keuntungan dari tidak mengalami di antaranya lebih mudah menerima dan memaafkan "luka lama". Tapi di satu sisi mengurangi sakralitas emosi sejarah yang terkandung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun