Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tanpa Persetujuan Wali Nikah, Apakah Pernikahan Itu Sah?

26 Januari 2021   17:23 Diperbarui: 27 Januari 2021   12:19 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernikahan Arie Kriting dan Indah Permatasari beberapa waktu lalu sempat menuai kontroversi. Salah satunya—abaikan proses body shaming dan perisakan dari warganet—lantaran prosesi pernikahannya (akad nikah) itu tanpa kehadiran wali nikahnya, ayah Indah Permatasari.

Pernikahan itu terbilang ganjil dan takbiasa dalam pranata sosial kita. Makanya, tdak sedikit warganet mempertanyakan, apakah pernikahan Arie Kriting dengan Indah Permatasari—sebenarnya sudah tidak aneh karena banyak kasus pernikahan yang terjadi seperti itu—tersebut bisa dianggap sah secara hukum, baik hukum Islam maupun peraturan dan perundang-undangan yang berlaku?

Padahal, seperti dilansir Kompas.com, bahwa ternyata hanya ibunya yang tidak setuju. Ayahnya sejak awal menyetujui ikatan cinta dan pernikahan putrinya dengan Arie Kriting. 

Karena sebelum akad nikah digelar, ayah Indah Permatasari sudah melakukan proses taukil wali (mewakilkan) kepada Kepala KUA Kecamatan Setibudi Jakarta Selatan. Tidak diungkap alasannya kenapa ia tidak hadir dan taukil wali saat akad nikah putrinya. 

Ayah Indah Permatasari tampaknya menyadari bahwa berdamai dengan kenyataan dan bersikap bijak dengan apa yang terjadi adalah sikap elegan dan bisa jadi menenangkan. Ini bertaut dengan soal jodoh dan cinta. Jodoh adalah misteri kehidupan. Sama misterinya dengan kelahiran, rezeki, dan kematian. 

"Cinta itu bicara halusnya perasaan. Ia hadir tanpa diundang dan dipaksakan," tulis Meilina Cessy Goeslaw (Melly Goeslaw) dalam larik lirik lagunya, Memang Kenapa Bila Aku Perempuan? dan dinyanyikannya secara duet bersama Gita Gutawa sebagai soundtrack film Kartini, garapan sutradara Hanung Bramantyo.

Cinta adalah anugerah Tuhan Yang Maha Cinta. Syahdan cinta akan hadir tepat dan indah pada waktunya. Cinta ditandai getaran perasaan yang unik dan dahsyat di hati. Itulah yang dialami Indah Permatasari dan Arie Kriting.

Hakikatnya, takada orang tua yang tidak menyayangi dan mencintai anaknya, dan sebaliknya, takada anak yang tidak menyayangi dan menghormati orang tuanya. 

Relasi orang tua dan anak itu—termasuk relasi pasangan suami istri—bukan berlomba-lomba untuk menang dan kalah. Karena itu bukan ajang perlombaan yang berujung dengan menang dan kalah. Jika seperti itu, bukankah kehidupan keluarga dan rumah tangga menjadi terengah-engah (mengap-mengap dengan napas memburu) dan itu sangat melelahkan?

Kembali pada poin semula, apakah prosesi pernikahan (akad nikah) tanpa persetujuan dan kehadiran wali nikahnya itu adalah sah secara hukum?

Ini adalah cerita pernikahan dalam Islam. Menurut hukum Islam dan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa wali nikah (dari calon mempelai perempuan) adalah salah satu rukun (pilar/unsur) yang wajib dipenuhi untuk sahnya pernikahan.

Pernikahan itu sah jika terpenuhi syarat dan rukunnya, yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali nikah (dari calon mempelai perempuan), dua orang saksi dan ijab kabul. 

Sedangkan mahar atau maskawin (ada sebagian ulama yang bilang rukun) termasuk syarat sahnya pernikahan (akad nikah). Analoginya, biar gampang, wudu adalah syarat sahnya salat. Tanpa berwudu sebelum salat, maka salatnya tidak sah. Begitu, kedudukan hukum mahar atau maskawin dalam pernikahan.

Tentang wali nikah, ada dua kategori: Wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah kerabat ayah atau baris wali nikah dari keturunan/sedarah dengan ayah. 

Kepala KUA kecamatan bertindak sebagai wali hakim. Pernikahan dilaksanakan dengan wali hakim jika wali nasab tidak ada, walinya adhal (enggan), walinya tidak ketahui keberadaannya, walinya tidak bisa dihadirkan atau ditemui karena dipenjara, wali nasabnya tidak ada yang beragama Islam, walinya dalam keadaan berihram, dan wali yang akan menikahkan menjadi pengantin itu sendiri.

Pernikahan dengan wali hakim karena wali nasabnya adhal (enggan, tidak setuju, tidak mau menikahkan, atau tidak mau bertindak sebagai wali nikah), harus melalui penetapan Pengadilan Agama.

Prosedurnya, ada surat penolakan tidak memenuhi persyaratan dari pihak KUA kecamatan di mana akad nikah akan dilaksanakan. Selanjutnya, didaftarkan ke Pengadilan Agama sesuai domisili calon mempelai perempuan untuk proses penetapan wali adhal.

Untuk melaksanakan ijab kabul dalam akad nikah, wali nikahnya dapat mewakilkan kepada kepala KUA, penghulu, pembantu pegawai pencatatan nikah (P3N ) atau orang lain yang  memenuhi syarat.

Dalam hal wali nikahnya tidak hadir saat akad nikah, maka wali membuat surat taukil wali (surat ikrar mewakilkan) di hadapan Kepala KUA /Penghulu/PPN LN tempat domisili/keberadaan wali nikahnya, dan disaksikan oleh dua orang saksi.

Nah, sampai di sini, jelas bisa disimpulkan bahwa pernikahan tanpa persetujuan dan kehadiran wali nikahnya tetap bisa dilaksanakan, dan tentu saja, pernikahannya adalah sah. Dengan catatan memenuhi persyaratan, peraturan, dan ketentuan hukum yang berlaku. 

Pertama, bisa dengan membuat surat taukil wali, jika wali nikahnya tidak bisa hadir. Kedua, jika walinya adhal (enggan, tidak setuju, dan tidak mau menikahkan), maka pernikahannya dilaksanakan dengan wali hakim setelah ada ketetapan wali adhal dari Pengadilan Agama.

Itu semua adalah solusi dan alternatif yang difasilitasi secara hukum untuk mengatasi problem dalam kondisi tertentu demi kebaikan dan kemaslahatan.

Hukum kadang terlihat seolah-olah kaku dan rigid dalam memperlakukan dan menyelesaikan problem yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam hal ini persoalan perdata terkait dengan hukum perkawinan.

Padahal realitasnya, bahwa pernikahan (perkawinan) itu tidak melulu merupakan peristiwa hukum. Tetapi pernikahan juga adalah peristiwa agama dan peristiwa budaya.

Oleh karena itu, nilai-nilai agama, spiritual, kesakralan, ibadah (ritual), akhlak (etika), adat istiadat, kearifan lokal, kekeluargaan, dan seterusnya secara psikologis, sosial, budaya, dan antropologis, harus dipandang sebagai sesuatu yang kompleks dan sangat penting dalam menyelesaikan problem.

Demikian, semoga bermanfaat. Tabik. []

--------------

Rujukan:

  • Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  • Peraturan Pemerintah  No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  • Kompilasi Hukum Islam (KHI)
  • Peraturan Menteri Agama No. 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun