Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Public Speaking Pejabat yang Menyakitkan: Cermin Krisis Politik Kita

15 September 2025   13:05 Diperbarui: 15 September 2025   13:05 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir usai Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/7/2025).(dpr.go.id-Oji/Andri via Kompas.com)

Public speaking sejatinya bukan sekadar kemampuan berbicara di depan banyak orang. Public speaking adalah seni menyampaikan pesan, merangkul hati pendengar, serta menyalurkan empati kepada masyarakat. 

Namun, di Indonesia, kualitas public speaking pejabat kerap menjadi sorotan. Bukan karena kata-kata indah yang menginspirasi, melainkan justru karena celetukan asal yang sembarangan yang menimbulkan keresahan dan kemarahan rakyat.

Kata-kata kasar, arogan dan merehkan sering kali terlontar, tentu masih ingat ucapan seorang elite politik yang menyarankan masyarakat "ngerebus atau mengukus" ketika stok minyak goreng sedang langka, mahal dan antrean mengular di mana-mana. Alih-alih memberi solusi konkret, pernyataan tersebut terdengar meremehkan penderitaan rakyat. 

Ada pula menaikkan anggaran tunjangan sewa rumah dinas agar bisa sewa rumah di sekitar gedung DPR, dengan alasan agar anggota DPR tidak terjebak macet. Bukankah yang seharusnya dipikirkan adalah mengapa kemacetan bisa terjadi dan bagaimana mencari solusi bersama agar jalanan bisa lebih lancar untuk semua?

Ucapan-ucapan seperti itu menunjukkan betapa banyak pejabat tidak terbiasa merasakan denyut kehidupan rakyat biasa. Mereka tidak harus mengantre minyak, tidak perlu bermacet ria, dan tidak pusing mencari transportasi umum yang layak. 

Karena itu, empati dalam komunikasi publik sering kali absen. Public speaking mereka akhirnya berubah menjadi public mocking alih-alih mendekatkan, justru menjauhkan diri dari rakyat.

Rakyat setiap hari bergulat dengan kemacetan tanpa patwal, tanpa jalan pintas, tanpa fasilitas mewah. Jawaban sederhana seperti meningkatkan transportasi umum jelas lebih masuk akal daripada sekadar menciptakan "zona nyaman" bagi segelintir pejabat. 

Namun di sinilah masalahnya: banyak pejabat kita tidak terbiasa melihat persoalan dari sudut pandang rakyat. Mereka terbiasa dengan patwal, jalur khusus, dan fasilitas serba ada. Akibatnya, empati melemah, logika kebijakan jadi timpang, dan ucapan publik pun sering menyinggung perasaan.

Tidak heran bila blunder seperti itu muncul berulang kali. Banyak anggota DPR atau pejabat naik ke panggung politik bukan karena keahliannya di bidang politik atau kebijakan publik, melainkan semata karena popularitas. 

Mereka dipilih karena dikenal orang, bukan karena dipandang mampu. Akibatnya, saat dihadapkan dengan persoalan kompleks, respons mereka sering dangkal. Public speaking yang seharusnya menjadi sarana merangkul rakyat justru berubah menjadi sarana memperlihatkan ketidaksiapan mereka.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertama, banyak pejabat naik ke panggung politik bukan karena kapasitas intelektual atau pengalaman panjang membela rakyat, melainkan karena popularitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun