[caption id="attachment_147602" align="alignright" width="300" caption="Mentang-mentang monyet besar, seenaknya menduduki monyet kecil!"][/caption] Teringat sebuah kisah yang disampaikan seorang trainer pada sebuah acara workshop pembangunan masyarakat desa tahun 1990-an. Trainer itu bercerita tentang kisah seekor monyet baik hati yang ingin menyelamatkan seekor ikan. Kisah ini jadi menarik dan sulit dilupakan, karena problemnya terjadi terus menerus di dunia manusia, sejak dulu sampai saat ini.
Kisahnya begini, suatu hari di sebuah hutan lebat, hiduplah seekor monyet yang bersahabat dengan seekor ikan jurong. Monyet begitu menyayangi si ikan jurong. Rasa sayang itu ditunjukkan oleh kemurahan hati si monyet yang selalu membagi buah-buahan kepada si ikan jurong. Saat si monyet melempar sisa buah yang dimakannya, si ikan jurong dengan tangkas melompat untuk menangkap pembagian dari si monyet.
Kesediaan si ikan jurong menerima pemberian si monyet, membuatnya makin senang dan bahagia. Proses pembagian makanan itu terus berlangsung setiap harinya. Monyet melompat kegirangan di atas dahan saat sisa makanan yang dilemparnya dijemput dengan aksi akrobatik oleh si ikan jurong. Hubungan dua makhluk berbeda habitat ini berlanjut sampai tiba pada suatu musim hujan.
Hujan yang turun siang itu, tidak seperti biasanya. Sangat lebat sampai air sungai tempat ikan jurong tadi hidup meluap sampai ke tepian. Di atas dahan pohon ara, si monyet mencari perlindungan diantara dedaunan sambil sesekali melirik ke arah sungai. Dia ingin memastikan, apakah si ikan jurong sudah mendapat tempat perlindungan yang layak dari terpaan hujan lebat siang itu?
Dari celah dedaunan, si monyet melihat si ikan jurong sedang melompat dengan berbagai model aksi akrobatik. Si monyet memberi isyarat supaya si ikan jurong mencari tempat bersembunyi supaya tidak terbawa arus sungai. Namun, si ikan jurong terus melompat sampai akhirnya terlempar ke tepian yang airnya dangkal. Si ikan jurong menggelepar-gelepar sedang berusaha kembali ke sungai, yang merupakan habitatnya.
Melihat ikan jurong menggelepar-gelepar, si monyet dengan cepat turun dari dahan pohon ara menghampiri si ikan jurong yang sedang berusaha kembali ke sungai. Karena khawatir terhadap keselamatan ikan jurong yang bisa ditelan arus sungai, si monyet mengangkat ikan jurong tadi ke atas dahan.
Di atas dahan, diantara rimbunnya daun pohon ara, si ikan jurong malah makin mengelepar. Takut ikan jurong itu jatuh ke sungai, si monyet makin erat memeluk si ikan jurong. Dibelainya ikan jurong itu supaya diam, dan tak lama kemudian ikan itupun diam tak bergerak. Si monyet berpikir, ikan jurong itu sudah tertidur.
Si ikan jurong itupun ditempatkan si monyet di atas dahan yang lebar, kemudian si monyet tertidur disamping ikan jurong. Begitu terbangun esok paginya, si monyet sangat terkejut melihat sejumlah semut mulai mengerubuti tubuh ikan jurong itu. Dia mencoba membangunkan ikan jurong dengan mengguncang-guncang tubuhnya, namun ikan jurong tetap tidak bergerak. Ikan itu telah mati.
Si monyet ketakutan, akhirnya dia melarikan diri dengan meninggalkan jasad ikan jurong bersama kawanan semut. Si monyet tidak pernah tahu, kenapa kebaikan yang diberikannya menyebabkan ikan itu mati. Dia tetap menyatakan tidak bersalah, karena niat baik membantu ikan jurong tadi dari ancaman banjir. Dia berkeyakinan, kalaupun tidak dibantunya, ikan jurong itu pasti mati ditelan banjir. Pada akhirnya, si monyet memang tidak pernah menyesal karena dia sama sekali tidak mengetahui kesalahan yang dilakukannya.
Fenomena inilah yang sedang terjadi di negeri tercinta ini. Para pemegang kebijakan di Jakarta melihat kondisi dan situasi daerah dari kacamata Jakarta. Seolah-olah problem yang dihadapi daerah seperti problem yang sedang terjadi di Jakarta. Mereka kasian melihat orang-orang memakan sagu, maka Jakarta mengirim mereka beras berton-ton. Padahal dengan memakan sagu, mereka lebih kuat.
Karena sudah ada beras, mereka ikut makan beras. Mereka dan keturunannya kemudian meninggalkan sagu sebagai makanan pokok. Padahal, di wilayah itu sangat terbatas areal persawahan. Akhirnya daerah itu menjadi pemasok beras dari daerah lain, sementara pohon sagu membusuk di rawa-rawa daerah itu.