Mohon tunggu...
Muhammad Rabbani
Muhammad Rabbani Mohon Tunggu... Pekerja Swasta

Rabbani Archive — Pecinta seni, sains, filsafat, sekaligus pemerhati lingkungan yang menuangkan ekspresi, pengalaman, serta perspektif melalui tulisan, merangkai refleksi dengan wawasan digital dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Melihat Hantu, Antara Ilusi Saraf dan Pesan Ilahi?

19 April 2025   10:29 Diperbarui: 19 April 2025   19:01 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Otak dan Alam Gaib: Mengungkap misteri penampakan hantu dari sudut pandang sains dan spiritualitas.

Sebagian orang mengaku pernah melihat hantu. Ada yang menyaksikan bayangan samar di sudut ruangan, mendengar suara-suara aneh, atau bahkan merasakan kehadiran sosok tak kasat mata. Fenomena ini telah lama menjadi bahan cerita, ketakutan, bahkan kepercayaan yang mengakar dalam masyarakat. Namun, bagaimana jika kita mencoba memahaminya bukan hanya dari sisi mistik, tapi juga dari pendekatan ilmiah dan spiritual sekaligus?

Bagian 1: Perspektif Sains. Saat Otak Memainkan Imajinasi

Beberapa pakar kedokteran, termasuk dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS, atau yang lebih dikenal sebagai dr. Ryu Hasan, telah lama menyuarakan pentingnya memahami fenomena mistis dari sudut pandang neurologi. Sebagai seorang dokter spesialis bedah saraf, ia menjelaskan bahwa banyak pengalaman melihat hantu atau penampakan gaib sebenarnya adalah hasil dari aktivitas otak yang keliru dalam memproses informasi. Dalam beberapa kesempatan, ia menegaskan bahwa otak manusia bisa menciptakan ilusi yang sangat meyakinkan, terutama saat berada dalam kondisi stres, kurang tidur, atau terpapar rangsangan yang ambigu.

Hal ini selaras dengan temuan dalam dunia medis dan neurosains, bahwa fenomena "melihat hantu" sering kali dikaitkan dengan halusinasi. Halusinasi adalah persepsi tanpa stimulus eksternal, artinya seseorang melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu padahal tidak ada sumber nyata dari luar.

Penyebabnya bisa beragam: kelelahan ekstrem, stres berat, gangguan tidur (seperti sleep paralysis), atau kondisi neurologis tertentu. Medan elektromagnetik tinggi juga diduga memengaruhi kerja otak, terutama area lobus temporal, yang berkaitan dengan persepsi visual dan memori. Dalam beberapa eksperimen, medan ini bahkan bisa menimbulkan sensasi kehadiran "makhluk" atau suara-suara aneh.

Sistem limbik, terutama amigdala, sangat terlibat dalam proses ini. Ia adalah pusat kendali emosi, termasuk rasa takut. Ketika seseorang berada dalam kondisi psikis yang labil, otaknya lebih mudah menafsirkan informasi ambigu sebagai ancaman. Bayangan gelap bisa ditafsirkan sebagai sosok menakutkan, bunyi samar bisa berubah menjadi suara-suara menyeramkan.

Dopamin, neurotransmiter yang mengatur kesenangan dan kewaspadaan, juga berperan penting. Kelebihan dopamin di area otak tertentu bisa membuat seseorang merasa yakin terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Hal inilah yang terjadi pada pasien skizofrenia, tapi dalam dosis lebih ringan, bisa juga menimpa orang sehat dalam kondisi tertentu.

Jadi, apakah "melihat hantu" benar-benar terjadi? Dalam perspektif sains, pengalaman itu nyata secara subjektif, tapi bukan karena ada entitas gaib yang benar-benar hadir secara fisik. Otaklah yang menciptakan realitas itu, dan bagi yang mengalaminya, sensasinya sangat meyakinkan.

Namun, apakah semua penjelasan ini cukup untuk menutup rapat kemungkinan spiritual? Belum tentu.

Bagian 2: Perspektif Spiritual. Saat Allah Menyisipkan Pesan Lewat Mekanisme Psikis

Dan mungkin inilah cara kerja sistem dunia. Sebuah sistem sebab-akibat yang telah ditetapkan oleh Allah. Sebagaimana Allah tak perlu hadir secara fisik untuk menjatuhkan apel, cukup dengan hukum gravitasi yang telah Ia tetapkan sejak awal. Suara pun tak perlu dikawal malaikat untuk berpindah, cukup gelombang elektromagnetik yang bekerja atas izin-Nya. Jantung berdetak, tanaman tumbuh, cahaya membias menjadi pelangi... semua terjadi bukan karena mukjizat yang mendadak, tapi karena hukum yang abadi. Lalu mengapa tidak dengan halusinasi untuk menyampaikan ketakutan, peringatan, atau bahkan ujian?

Bukankah Allah telah menciptakan segala sesuatu secara teratur dan berimbang?

"Engkau tidak akan melihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah itu. Maka lihatlah sekali lagi, adakah engkau melihat suatu yang cacat?"
(QS. Al-Mulk: 3)

Dalam Islam pun, jin dan ruh itu memang ada. Namun, apakah mereka hadir dalam bentuk visual seperti yang banyak dikisahkan dalam cerita-cerita horor? Belum tentu. Bahkan Allah berfirman:

"Sesungguhnya dia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka..."
(QS. Al-A'raf: 27)

Jika manusia tidak bisa melihat mereka secara langsung, maka penampakan-penampakan itu boleh jadi bukan dari makhluknya secara fisik, melainkan bentuk pengalaman batin yang diizinkan Allah terjadi untuk maksud tertentu. Dan dampaknya nyata. Seseorang bisa merasakan takut yang amat dalam, bahkan bisa meninggalkan trauma seumur hidup.

Bukankah Allah pun memperingatkan bahwa setan membisikkan ke dalam dada manusia, diam-diam, tak tampak, tapi terasa?

"Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi, yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia..."
(QS. An-Naas: 4-5)

Bisikan ini bisa hadir dalam bentuk ketakutan mendalam, imajinasi yang mengganggu, atau bahkan penampakan samar yang seolah nyata. Rasulullah sendiri bersabda:

"Sesungguhnya setan itu berjalan di aliran darah manusia..."
(HR. Muslim)

Sabda ini kerap dimaknai sebagai isyarat bahwa setan memiliki cara masuk yang sangat halus, sangat dekat, bahkan tak terasa. Tapi jika direnungkan lebih jauh, sabda ini juga sangat mungkin dimaknai sebagai kiasan yang menunjuk pada jalur biologis dan psikis manusia, terutama sistem saraf pusat dan otak. Sebab aliran darah adalah jalur utama bagi fungsi otak, pusat dari rasa takut, emosi, persepsi, hingga dorongan syahwat.

Dalam sains modern, diketahui bahwa sistem limbik di otak manusia mengatur emosi dan dorongan naluriah, termasuk rasa takut dan impuls destruktif. Semua itu sangat dipengaruhi oleh aliran darah yang membawa oksigen dan zat kimia seperti dopamin, serotonin, hingga hormon stres. Maka sangat mungkin jika sabda Nabi itu juga mencerminkan cara kerja setan melalui jalur biologis yang menjadi celah kelemahan manusia, yakni lewat emosi, imajinasi, dan bisikan batiniah yang muncul dalam benak tanpa suara.

Dalam bahasa hari ini: setan beroperasi melalui celah impuls neurologis dan kelemahan-kelemahan emosional manusia. Lewat aliran darah, melalui sistem otak yang memang menjadi pangkalan persepsi dan rasa takut.

Maka ketika seseorang melihat "penampakan", bisa jadi itu bukan karena jin benar-benar menampakkan diri secara fisik, melainkan karena mekanisme persepsi otaknya sedang diintervensi, dan hal itu diizinkan Allah sebagai bagian dari ujian, peringatan, atau pengingat agar manusia tidak terlalu sombong terhadap akalnya sendiri.

Bahkan dalam kisah Nabi Ibrahim, kita menemukan bahwa pengalaman mimpi, yang secara neurologis juga bisa dikaitkan dengan proses mental bawah sadar, diakui sebagai wahyu:

"Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu..."
(QS. As-Saffat: 102)

Mimpi dan pengalaman psikis manusia tidak bisa disederhanakan sebagai ilusi semata. Kadang di situ terkandung pesan Ilahi yang tidak terjangkau oleh logika biasa. Maka bisa jadi halusinasi yang begitu kuat adalah bagian dari kehendak Allah, bukan untuk ditakuti, tapi untuk direnungi.

Alih-alih terjebak pada pertanyaan apakah penampakan itu nyata secara fisik atau tidak, mungkin lebih penting untuk bertanya: apa pesan di balik pengalaman itu? Apakah ia datang sebagai peringatan, sebagai panggilan untuk kembali pada kesadaran, atau sekadar ujian kecil agar manusia tidak terlalu sombong terhadap akalnya sendiri?

Ilmu pengetahuan dan iman tidak perlu saling bertentangan. Justru saat keduanya berjalan bersama, kita bisa menemukan pemahaman yang lebih menyeluruh, bahwa tak semua hal yang tak terlihat adalah palsu, dan tak semua yang bisa dijelaskan oleh sains adalah kebetulan.

Karena pada akhirnya, segala sesuatu tetaplah berada dalam genggaman kehendak-Nya.

(Catatan: Tulisan ini tidak bertujuan membuktikan kebenaran wahyu dengan teori sains, karena keduanya berdiri di ranah epistemologi yang berbeda. Namun sebagai manusia beriman, tak salah jika kita bertafakur atas ciptaan Allah dan mencoba memaknai pengalaman hidup dengan akal dan hati sekaligus, selama kita tetap rendah hati pada batas pengetahuan manusia dan tidak menjadikan teori sebagai dasar iman)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun