Mohon tunggu...
Muhammad MS
Muhammad MS Mohon Tunggu... Bloger, Pemerhati Sosial

Pemerhati Sosial, Penulis Lepas,

Selanjutnya

Tutup

Politik

Joget di Atas Penderitaan Rakyat

22 Agustus 2025   07:21 Diperbarui: 22 Agustus 2025   07:21 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joget diatas penderitaan rakyat: ilustrasi by AI generated 

Joget di Atas Penderitaan Rakyat

Mereka berjoget. Di ruang ber-AC, kursi empuk, dan mikrofon berlapis debu sidang menjadi saksi. Irama itu bukan datang dari musik rakyat, melainkan dari pengumuman kenaikan gaji mereka sendiri.

Di luar gedung, rakyat berdesakan di pasar, menghitung recehan demi membeli sebungkus cabai. Di desa-desa, petani menatap sawahnya yang retak, buruh menatap pabrik dengan cemas. Tetapi di dalam gedung itu, mereka yang katanya wakil, menari bagai lupa bahwa mereka berdiri di atas tanah yang kian retak oleh penderitaan.

Sejarah negeri ini berulang kali menulis ironi: kekuasaan yang menjauh dari rakyat akan selalu melahirkan jurang. Dan jurang itu, cepat atau lambat, akan menelan siapa saja yang menertawakan penderitaan di seberangnya.

Mereka lupa, mungkin dengan sengaja, bahwa gaji yang mereka rayakan berasal dari keringat yang sama: pajak pedagang kecil, pungutan nelayan yang letih, dan tetes keringat buruh yang tak pernah mengenal joget selain gerakan tubuh di bawah mesin pabrik.

Joget itu kelak akan dicatat, bukan sebagai tarian kegembiraan, melainkan sebagai tari topeng---topeng yang menutupi wajah asli dari mereka yang lebih sibuk menjaga perut sendiri ketimbang mendengar jeritan rakyat.

Malam di negeri ini pun menjadi saksi bisu. Di warung kopi, orang-orang kecil masih menghitung recehan. Di kamar kos pengap, mahasiswa menatap buku dengan perut kosong. Di jalan-jalan, tukang becak, sopir angkot, dan pedagang asongan terus bertarung melawan harga yang tak lagi ramah.

Tak ada yang lebih berbahaya bagi sebuah negeri selain ketika para wakil kehilangan rasa malu. Dari situlah lahir jurang: antara kata dan perbuatan, antara janji dan kenyataan. Jurang itu tak bisa diisi dengan joget, dengan tawa, dengan alasan. Ia hanya bisa diisi dengan kesetiaan---kesetiaan pada suara orang banyak.

Namun, bila kesetiaan itu telah pudar, rakyatlah yang akan menjadi hakim. Hakim yang sabarnya panjang, tapi ingatannya jauh lebih panjang. Mereka mungkin tak turun hari ini, tak berteriak di depan gedung megah itu. Tetapi ketika waktunya tiba, suara mereka di bilik pemilu akan menjadi palu yang lebih keras daripada teriakan di jalan.

Dan bila suatu hari nanti catatan sejarah dibuka, joget itu akan dikenang---bukan sebagai tanda kegembiraan, melainkan sebagai peringatan. Bahwa di atas penderitaan, tak ada tarian yang pantas dilakukan, kecuali tarian penebusan.

Jakarta, Jelang demo 25 Agustus 2025

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun