Ketika Hukum Tak Lagi Menyentuh
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Angka yang seharusnya menandai kedewasaan sebuah bangsa, kematangan sebuah negara. Delapan puluh tahun adalah waktu yang panjang untuk menanam, memelihara, dan menuai buah dari cita-cita kemerdekaan. Tetapi apa yang kita lihat? Hukum yang seharusnya menjadi tiang peradaban justru dipermainkan. Kejaksaan yang seharusnya tegak, memilih diam. Dan seorang Sylfester Matutina tetap berjalan bebas, seakan hukum hanyalah kain tipis yang bisa disibakkan oleh kekuasaan.
Delapan puluh tahun lalu, darah para pejuang tertumpah agar negeri ini bisa berdiri. Mereka berperang bukan untuk membangun negara boneka, bukan untuk melahirkan hukum yang bisa diperdagangkan. Mereka berjuang demi sebuah janji: bahwa rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, akan hidup di bawah naungan keadilan yang sama.
Tetapi janji itu, di usia delapan puluh tahun kemerdekaan, terasa semakin jauh. Rakyat masih menyaksikan ironi: seorang ibu yang mencuri beras karena lapar dipenjara tanpa ampun; seorang buruh kecil yang menuntut haknya ditangkap di depan mata anaknya; sementara mereka yang menjarah anggaran, mereka yang merampok masa depan bangsa, bisa melenggang bebas dengan senyum lebar. Nama Sylfester hanyalah satu dari sekian banyak nama yang menyingkap wajah asli hukum di negeri ini—tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Apalah arti merdeka bila hukum masih tunduk pada kuasa? Apalah arti merdeka bila rakyat kecil masih menjadi korban, sementara penguasa dan kroninya bisa bersembunyi di balik dinding impunitas? Kemerdekaan bukan sekadar upacara, bukan sekadar kibaran bendera saban Agustus. Kemerdekaan adalah keberanian menegakkan keadilan, meski harus berhadapan dengan siapa pun.
Delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya membuat bangsa ini belajar. Belajar bahwa hukum tidak boleh menjadi milik segelintir orang. Belajar bahwa hukum harus berdiri tegak, tanpa takut, tanpa pandang bulu. Tetapi apa yang terjadi hari ini justru sebaliknya: hukum dipelintir, keadilan ditunda, dan rakyat dipaksa menonton lakon busuk yang sama, tahun demi tahun.
Kejaksaan tidak menangkap Sylfester. Itu bukan sekadar kelalaian administratif. Itu adalah penghinaan terhadap cita-cita kemerdekaan. Itu adalah tamparan terhadap wajah bangsa yang pernah bersumpah untuk hidup adil. Itu adalah tanda bahwa delapan puluh tahun kemerdekaan masih belum cukup untuk melahirkan keberanian sejati.
Namun sejarah selalu menulis dengan tinta yang tak bisa dihapus. Semua pengkhianatan terhadap hukum, cepat atau lambat, akan tercatat. Tidak ada perlindungan yang abadi. Tidak ada kekuasaan yang kekal. Pada waktunya, kebenaran akan menagih, dan rakyat akan menjadi saksi.
Hari ini, Sylfester mungkin melenggang bebas. Tetapi kebebasannya adalah penjara bagi hukum. Ia adalah bukti betapa rapuhnya keadilan di negeri ini. Dan sejarah kelak akan mencatat: pada usia delapan puluh tahun kemerdekaan, ketika bangsa lain telah menegakkan martabat hukumnya, Indonesia masih bergulat dengan bayangan ketidakadilan.
Kemerdekaan, kata para pendiri bangsa, adalah jembatan emas. Tetapi jembatan itu tidak akan pernah membawa kita ke seberang bila hukum dibiarkan runtuh. Delapan puluh tahun kemerdekaan hanya akan menjadi angka tanpa makna, bila rakyat terus dipaksa percaya pada hukum yang pincang.
Dan rakyat, meski lelah, akan terus mengingat. Mereka akan mengingat bahwa pada usia delapan puluh tahun kemerdekaan, kejaksaan tidak juga menangkap Sylfester Matutina. Mereka akan mengingat bahwa hukum pernah dilecehkan. Mereka akan mengingat bahwa janji para pejuang belum ditepati.