Pidato yang Menggema di Negeri Luka
Di negeri yang telah berabad-abad didera derita, pidato seorang pemimpin tak seharusnya hanya menjadi gema kosong yang berlalu bagai angin. Ia harus menjadi cermin---memantulkan bayang getir masa lampau sekaligus menyorot janji masa depan yang belum teruji.
Ketika suara itu terdengar lantang di hadapan rakyat, menyebut angka ratusan triliun yang diselamatkan dari lubang-lubang hitam korupsi, ingatan kita seketika terlempar jauh ke belakang.
Jejak Luka: Darah dan Keringat yang Dicuri
Kita masih mengingat masa-masa ketika darah dan keringat rakyat---petani yang membungkuk di sawah, buruh yang berkalang debu, nelayan yang bertaruh nyawa---selalu menjadi santapan para tuan yang serakah.
Kekayaan yang seharusnya menjadi hak rakyat, dibangun dari lumbung padi, hutan rimba, dan perut bumi, entah bagaimana selalu menguap. Hilang seperti embun pagi yang tak pernah kembali, meninggalkan tanah kering dan perut lapar.
Penyakit purba itu---korupsi dan penindasan---tak pernah mati. Ia menjelma menjadi hantu tak berwujud, beranak-pinak di lorong-lorong kekuasaan, menghisap darah generasi demi generasi. Kadang ia tersenyum di papan reklame politik, kadang berwujud tanda tangan di dokumen rahasia.
Deklarasi Perang dari Dalam Rumah Sendiri
Ketika seorang pemimpin berani menyebut angka konkret sambil mengancam para penimbun yang laksana parasit, itu bukan sekadar kebijakan teknis. Itu adalah pengakuan pahit: di tengah bangsa yang katanya merdeka, masih ada tangan-tangan tak terlihat yang menggenggam leher rakyat.
"Musuh terbesar kita bukan di luar negeri, tapi di meja makan kita sendiri."