Delapan Puluh Tahun: Pintu yang Belum Selesai Kita Buka
Delapan puluh tahun.
Untuk ukuran manusia, itu berarti renta, tubuh yang mulai rapuh, ingatan yang sering kabur. Tetapi bagi sebuah bangsa, usia itu mestinya adalah kematangan: tahu arah, paham jalan, mengerti luka, dan bisa menanggung dirinya sendiri.
Namun, apakah benar kita sudah menjadi bangsa yang dewasa setelah delapan puluh tahun merdeka?
Aku melihat jalanan di kota-kota besar penuh dengan gedung kaca yang menjulang, seolah-olah mereka ingin menandingi langit. Lampu-lampu menyala sepanjang malam, menelan gelap yang dulu begitu pekat. Namun di bawah gedung-gedung itu, di emper toko, di kolong jembatan, masih ada anak-anak kecil yang tidur beralaskan kardus. Mereka tidak pernah mengenal arti proklamasi, mereka hanya mengenal arti lapar.
Kemerdekaan, kata orang-orang pandai, adalah puncak segala perjuangan. Tetapi aku percaya, kemerdekaan hanyalah pintu. Di balik pintu itu, pekerjaan yang lebih berat menunggu: mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan rakyat, memanusiakan manusia. Delapan puluh tahun kita berjalan melewati pintu itu, tapi sering kali lebih sibuk dengan pesta dan perayaan ketimbang dengan pekerjaan yang sesungguhnya.
Aku teringat cerita tentang para pemuda yang menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Mereka menantang maut, menuntut agar proklamasi segera dikumandangkan. Mereka tahu, kemerdekaan adalah harga mati. Mereka menggadaikan nyawa agar bangsa ini berdiri di atas kakinya sendiri. Namun lihatlah kini, di usia delapan puluh tahun, bangsa ini masih berdiri di atas kaki yang pincang.
Korupsi menjelma tuan baru. Ia tidak mengenal waktu, tidak mengenal rezim. Ia hadir di setiap musim, tumbuh subur seperti alang-alang di ladang kosong. Rakyat kecil tetap berada di barisan paling bawah, menunggu janji-janji yang tak kunjung ditepati. Sementara itu, segelintir orang menumpuk harta, menjual tanah airnya sendiri dengan harga murah.
Bukankah dulu kita melawan Belanda dan Jepang karena mereka merampas hak kita untuk hidup bermartabat? Lalu apa bedanya dengan hari ini, ketika tanah petani diambil alih untuk proyek-proyek besar, ketika buruh diperas tenaganya tanpa upah layak, ketika rakyat kecil harus berhutang untuk bisa berobat? Jika kemerdekaan berarti berganti tuan, dari asing ke sesama anak bangsa sendiri, maka apa arti darah yang sudah ditumpahkan?
Delapan puluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Kita pernah berdiri di hadapan dunia, menjadi tuan di rumah sendiri. Tetapi kita juga pernah terjerumus, diperjualbelikan, dipermainkan oleh kepentingan. Sejarah telah memberi pelajaran, namun sering kali kita mengulanginya dengan cara yang lebih menyakitkan.
Merdeka, kata mereka, berarti bebas dari penjajahan asing. Tetapi merdeka yang sejati adalah bebas dari ketakutan. Bebas dari takut lapar, bebas dari takut sakit, bebas dari takut bodoh. Nyatanya, sampai hari ini, ketakutan itu masih hidup di dada rakyat kecil. Seorang ibu di kampung takut anaknya putus sekolah karena biaya. Seorang nelayan takut lautnya tak lagi ramah karena dicemari limbah. Seorang buruh takut dipecat karena bersuara menuntut haknya.
Inikah wajah kemerdekaan yang diwariskan oleh para pahlawan?