Rakyat di Tengah Pertarungan Elit
Oleh: Muhammad MS, Pengamat Sosial dan Blogger
Ada satu kenyataan pahit yang jarang diucapkan terus terang: di tengah hiruk-pikuk panggung politik, rakyat sering kali hanya menjadi latar belakang. Kita bertepuk tangan saat tokoh-tokoh besar berpelukan, dan terdiam ketika mereka berseteru. Namun, apa yang sesungguhnya berubah dalam hidup kita dari semua drama itu? Harga beras tak mau tunduk pada janji, lapangan kerja tak bertambah hanya karena dua pemimpin sepakat, dan biaya sekolah tidak turun ketika mereka saling memuji di podium.
Akhir-akhir ini, riak-riak hubungan antara Prabowo dan Jokowi mulai terasa di masyarakat. Ada yang menyebutnya sekadar strategi politik menjelang kontestasi berikutnya, ada pula yang membaca tanda-tanda retakan. Pemberian abolisi dan amnesti kepada figur-figur seperti Tom Lembong dan Hasto dinilai sebagian analis sebagai langkah yang punya makna politis, bukan hanya yuridis. Seperti benang halus yang ditarik perlahan, ketegangan itu belum putus, tetapi sudah cukup untuk membuat publik bertanya-tanya.
Masalahnya, saat para elit memainkan bidak di papan catur, rakyat berada di pinggir, menunggu giliran yang tak kunjung datang. Kita hanya tahu dari berita bahwa ada langkah ini dan manuver itu, tapi jarang sekali mendengar bagaimana kebijakan-kebijakan itu menyentuh meja makan keluarga biasa di kampung atau di gang sempit kota.
Pertarungan elit di negeri ini bukan hal baru. Dari era awal kemerdekaan, sejarah kita dipenuhi tarik-menarik kepentingan di puncak kekuasaan. Namun bedanya dulu, retak politik sering dibarengi perdebatan ideologi, adu visi tentang arah negara. Kini, perbedaan itu lebih sering lahir dari kalkulasi posisi, jabatan, atau peta dukungan. Akibatnya, rakyat kesulitan melihat letak kepentingannya dalam pertempuran tersebut.
Yang ironis, setiap kali para elit berkompromi, kita diminta untuk memuji kedewasaan mereka. Setiap kali mereka berseteru, kita diharapkan ikut panas, ikut berpihak. Padahal, keseharian kita tetap sama: berjuang mencari nafkah, membayar tagihan, mengatur sisa uang untuk bertahan hingga akhir bulan. Politik menjadi panggung besar yang berlangsung jauh di atas kepala, sementara di bawah, kita tetap berjalan di jalan berlubang, menunggu bus yang tak pasti datang.
Pertarungan elit memang akan selalu ada. Ia bagian dari dinamika politik di mana pun. Namun yang membedakan negara yang matang adalah bagaimana pertarungan itu tetap memberi ruang bagi rakyat untuk mendapat manfaat. Bukan sekadar tontonan yang menegangkan, tapi juga sumber perubahan yang nyata.
Sayangnya, kita masih hidup di fase di mana rakyat hanya disebut ketika kampanye, dijadikan angka dalam survei, atau bahan retorika di podium. Setelah itu, kembali menjadi penonton setia di tribun, menunggu permainan usai, berharap entah kapan giliran kita turun ke lapangan.
Jika politik ingin kembali bermakna, para elit harus belajar menempatkan rakyat di tengah, bukan di pinggir. Mereka boleh berseteru, boleh berkompromi, tetapi setiap langkah harus memikirkan apakah ini mengubah harga beras, membuka lapangan kerja, memperbaiki layanan kesehatan. Tanpa itu, semua drama hanyalah cerita untuk mereka yang bermain di atas, sementara kita tetap di bawah, menatap ke atas, menunggu hujan yang tak turun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI