Mohon tunggu...
MUHAMMAD LUTHFI RAMDHANI
MUHAMMAD LUTHFI RAMDHANI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah

Tertarik untuk belajar dan mencoba hal baru!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembagian Harta (Mal) dan Akibat Hukumnya menurut Para Ulama

29 Juni 2022   22:47 Diperbarui: 29 Juni 2022   22:50 2795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Para ulama dalam pembagian harta ini telah mengelompokkan kepada beberapa bagian yang ditinjau dari beberapa segi dan ciri-ciri khusus beserta akibat hukumnya. 

1. Pertama, jika kita tinjau dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara', harta itu dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Mutaqawwim (bernilai)

Mustafa Syalabi mendefinisikan harta mutaqawwim adalah sesuatu yang dapat dikuasai dan dibolehkan syara' mengambil manfaatnya.

b. Ghairu Mutaqawwim (tidak bernilai)

Ghairu Mutaqawwim yaitu sesuatu yang tidak dibolehkan syara' mengambil manfaatnya, seperti babi, anjing dan khamar

Akibat hukum pada pembagian harta kepada mutaqawwim dan ghairu mutaqawwim antara lain:

Pertama, harta mutaqawwim dapat dijadikan obyek transaksi, seperti jual beli, yaitu sewa menyewa dan sebagainya. Sedangkan ghairu mutaqawwim tidak dibolehkan syara'.

Kedua, Harta mutaqawwim mendapat perlindungan dan jaminan, apabila dirusak oleh seseorang maka ia dituntut ganti rugi, yaitu tuntutan mengganti dari pada benda serupa atau nilainya. Akan tetapi ulama Hanafiyah berpendapat jika harta ghairu mutaqawwim itu milik kafir dzimmi (kafir yang hidup dan tunduk di bawah perundang-undangan negara Islam) dirusak atau dibinasakan oleh orang muslim, maka muslim ini wajib membayar ganti rugi, karena harta tersebut termasuk harta mutaqawwim bagi kafir dzimmi, namun jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa terhadap kasus di atas seorang muslim tidak dituntut ganti rugi, karena harta ghairu mutaqawwim itu tidak dinilai harta dalam Islam.

2. Lalu yang kedua, jika ditinjau dari segi dapat atau tidaknya dipindahkan, harta dibagi kepada:

a) Harta Manqul (bergerak)

Ali al-Khafif memberi definisi harta manqul adalah sesuatu harta yang mungkin dipindahkan dari tempat semula ke tempat lain tanpa mengalami perubahan bentuk dan keadaan karena perpindahan itu. Jadi harta manqul ini sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik harta tersebut tetap dalam bentuk dan kondisinya berubah akibat dipindahkan. Harta ini seperti uang, pakaian, makanan, buku dan berbagai jenis barang yang bisa diukur dan ditimbang.

b) Harta 'Iqar (tidak bergerak)

Di antara pengertian 'iqar tersebut adalah sesuatu harta yang tidak mungkin dipindahkan dari tempatnya semula. Pengertian ini dipahami bahwa yang demikian itu hanya tanah dan apa-apa yang mengikut padanya.

Para fuqaha, dalam hal ini Hanafiyah dan Malikiyah berbeda pendapat terhadap harta manqul dan 'iqar tersebut. Menurut Hanafiyah bahwa bangunan, pepohonan dan tanam-tanaman di bumi tidak dikategorikan sebagai harta 'iqar kecuali dalam status mengikut pada tanah. Maka, apabila tanah yang ada bangunan di atasnya atau ada tanaman, lalu tanah tersebut dijual, maka akan diterapkan hukum 'iqar untuk segala yang mengikut kepada tanah, baik berupa bangunan ataupun yang lainnya. Sementara, kalau hanya bangunan atau tanaman itu saja yang dijual tanpa tanahnya maka dalam hal ini tidak diberlakukan hukum 'iqar. Jadi menurut Hanafiyah, harta 'iqar tidak mencakup apa-apa kecuali hanya tanah saja, sementara manqul mencakup segala sesuatu selain dari tanah.

Menurut Malikiyah, mereka mempersempit pengertian manqul dan meluaskan pengertian 'iqar. Mereka berpendapat bahwa manqul adalah sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain, tetapi tetap dalam kondisi dan bentuknya semula, seperti buku, pakaian, kendaraan dan sebagainya.

Sedangkan 'iqar adalah sesuatu yang tidak mungkin dipindahkan sama sekali seperti tanah, atau mungkin dipindahkan tetapi terjadi perubahan bentuk ketika dipindahkan seperti bangunan dan tanaman. Bangunan ketika dipindahkan akan hancur dan berubah menjadi puing-puing, demikian pula tanaman akan berubah menjadi kayu-kayu.

Adapun akibat hukum menurut para ulama fiqh dari pembagian harta jenis ini yaitu:

Pertama, Syuf'ah (hak beli atas bagian harta syarikat) hanya ditetapkan pada harta 'iqar (tidak bergerak), bukan pada harta manqul (bergerak). Apabila harta manqul dijual mengikut harta pada 'iqar, maka syuf'ah diberlakukan pada keduanya. Terhadap jual beli al-wafa' (jual beli bersyarat, dimana sipenjual bisa membeli kembali barang yang telah dijualnya), hal ini hanya berlaku pada 'iqar dan tidak berlaku pada manqul.

Kedua, wakaf dapat dilakukan terhadap harta tidak bergerak, ini disepakati para ulama fiqh. Namun wakaf terhadap harta bergerak, ulama Hanafiyah tidak membolehkan kecuali ada hubungannya, atau ada atsar yang yang menunjukkan sahnya seperti kuda, senjata atau menurut kebiasaan yang mashur seperti wakaf kitab dan sejenisnya. Akan tetapi jumhur ulama membolehkan harta bergerak untuk diwakafkan.

Ketiga, Muflis, yaitu orang yang dinyatakan pailit, maka untuk melunasi utang seorang yang muflis dapat dilakukan dengan cara menjual hartanya yang manqul (bergerak) terlebih dahulu sebelum hartanya yang 'iqar (tidak bergerak).

Keempat, Al-Washi (orang yang diberi wasiat). Pelaksana wasiat dapat bertindak atas nama qashir (orang yang belum memenuhi kriteria untuk melakukan tasharruf secara sempurna pada hartanya). Seorang washi dapat menjual harta manqul untuk kebutuhan mereka sepanjang ada kemaslahatan dan tidak berlebihan, harta 'iqar (tidak bergerak) dapat dijual jika ada hal yang mendesak dan dibolehkan syara' seperti untuk melunasi utang menutup kebutuhan yang sangat penting, ataupun untuk tercapainya kemaslahatan yang lebih besar.

Kelima, hak-hak tetangga dan irtifaq. Terhadap hak ini ditetapkan hanya pada 'iqar (harta tidak bergerak), jadi tidak ada hak irtifaq pada pada harta manqul (harta bergerak).

Lalu hikmah pembagian harta jenis ini, menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, tidak bisa dipersepsikan adanya al-ghashbu atau perampasan terhadap harta 'iqar (tidak bergerak), karena harta tersebut tidak mungkin untuk dipindahkan dan dikuasai yang merupakan syarat al-ghasb. Tetapi menurut jumhur ulama berpendapat bahwa pada harta 'iqar dan manqul dapat juga terjadi perampasan.

3. Kemudian ditinjau dari segi ada atau tidaknya persamaan harta tersebut dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Mitsli (harta yang ada persamaannya).

Harta mitsli adalah suatu harta yang punya persamaan dan padanan di pasar dalam dunia perdagangan tanpa ada perbedaan yang signifikan. Harta mitsli ini biasanya terindikasi pada 4 (empat) jenis/sifat, yaitu harta yang dapat ditimbang (al-mauzuunaat) seperti tepung, kapas. Harta yang dapat ditakar (al-makilat) seperti gula, beras. Harta yang dapat diukur berdasarkan meteran, hasta dan sebagainya (adz-dzar'iyyat) seperti kain, tali yang seluruh bagiannya sama tanpa ada perbedaan yang signifikan. Harta yang dapat dihitung dan dijumlah (al-'adadiyyat) yang ukurannya hampir sama seperti kelapa, telur dan lain-lain.

b. Qimi (harta yang tidak ada persamaannya).

Harta qimi tidak punya persamaan dan jenis dan padanan di pasar, atau ada persamaannya namun antara satu dengan yang lainnya ada perbedaan yang signifikan antara unit-unit dan kualitasnya yang diperhitungkan dalam berinteraksi seperti hewan ternak, tanah, rumah, permata, kitab-kitab yang masih berbentuk manuskrip sebagai naskah kuno dan lain-lain. Harta mitsli akan dapat berubah menjadi harta qimi ataupun sebaliknya yaitu harta qimi juga dapat berubah menjadi harta mitsli. Hal ini akan dipengaruhi oleh beberapa kondisi, oleh sebab itu harta mitsli akan berubah menjadi qimi, kondisi tersebut akan terjadi apabila ketika: 1). Tidak ada di pasar. Apabila tidak ditemukan lagi harta mitsli di pasar, maka harta mitsli akan berubah menjadi harta qimi. 2). Ketika terjadi percampuran. Apabila terjadi percampuran antara dua harta mitsli, dimana kedua harta tersebut berbeda jenis dan kualitasnya, seperti hinthah dan sya'ir (keduanya merupakan jenis gandum) maka percampuran kedua jenis gandum tersebut berubah menjadi harta qimi. 3). Ketika punya resiko bahaya. Apabila harta mitsli beresiko akan mendapatkan bahaya, seperti bahaya terbakar atau tenggelam maka ia akan punya nilai (qimah) yang khusus. 4). Ketika terdapat cacat atau telah digunakan. Apabila harta mitsli punya cacat atau telah dipakai dan digunakan maka ia akan punya nilai khusus.

Demikian pula sebaliknya, yaitu harta qimi akan berubah menjadi mitsli, hal ini akan dapat terjadi apabila harta qimi sudah banyak dan mudah dijumpai dimana sebelumnya tidak demikian. Jadi, apabila suatu harta yang tadinya jarang dijumpai di pasaran yang kemudian berubah jadi banyak dan mudah dijumpai di pasaran maka ia akan berubah menjadi mitsli di mana sebelumnya ia memiliki nilai (qimah) secara khusus.

Nah lalu, adapun akibat hukum dari pembagian harta kepada al-mitslidan al-qimi akan terlihat dalam beberapa hal yang di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam hal tanggungan atau jaminan.

Harta mitsli dapat dijadikan sebagai jaminan atau tanggungan dalam melakukan muamalah, artinya ia bisa menjadi harga dalam suatu jual beli dengan cara menentukan sifat dan jenisnya, sedangkan harta qimi tidak bisa dijadikan sebagai jaminan atau tanggungan, sehingga ia tidak bisa menjadi harga dalam bermuamalah.

Kedua, dalam hal kerusakan.

Harta mitsli tersebut jika dirusak oleh seseorang, maka haruslah digantinya sesuai jenis dan sifat harta yang dirusaknya tersebut. Sedangkan harta qimi, jika dirusak seseorang maka haruslah menggantinya sesuai nilai atau harga yang diperhitungkan, artinya seseorang yang merusak harta qimi, cukuplah baginya mengganti yang serupa dengannya dari segi substansi sifatnya sebagai harta yaitu nilai atau harganya.

Ketiga, dalam hal riba.

Harta mitsli dapat menjurus kepada riba yang diharamkan ketika melakukan transaksi, karena dalam bertransaksi mengharuskan samanya dua barang yang sejenis dalam segi kapasitas dan ukuran sehingga kelebihannya merupakan sesuatu yang diharamkan. Sedangkan pada harta qimi tidak mungkin terjadi riba yang diharamkan, karena pada harta qimi tidak mungkin ditemukan kesamaan dan jenis barang.

4. Lalu selanjutnya jika ditinjau dari segi penggunaan atau pemakaiannya, harta dapat dibagi menjadi 2 juga, yaitu:

a. Harta istihlak, yaitu harta yang ketika digunakan untuk menikmati manfaatnya sebagaimana biasa adalah dengan cara menghabiskan zatnya, seperti makanan, minuman, sabun, minyak, kayu bakar dan lain-lain. Demikian juga uang termasuk harta istihlaki, karena cara memanfaatkannya adalah dengan cara keluarnya ia dari tangan si pemiliknya meskipun pada prinsipnya zat uang tersebut tetap ada.

b. Harta isti'mali, yaitu harta yang dapat digunakan dan diambil manfaatnya berulang kali namun zatnya masih tetap utuh, seperti rumah, pakaian, buku dan lain sebagainya. Dari kedua bentuk harta ini dapat dilihat dari sisi pemanfaatannya yang pertama, bukan pada kondisi yang pemakaiannya yang dapat digunakan secara berulang kali. Jadi, apabila zat harta tersebut hilang atau habis ketika pertama kali dimanfaatkan maka ia tergolong harta istihlaki, tetapi, apabila zat harta tersebut tidak hilang atau tidak habis dan dapat dimanfaatkan secara berulang kali maka ia tergolong harta isti'mali.

Ada pula akibat hukum dari pembagian ini, ulama fiqh melihat dari segi akadnya, yaitu:

Pertama, harta istihlaki akadnya hanya bersifat tolong menolong, karena objek suatu perjanjian ditujukan kepada manfaat harta bukan kepada zatnya, seperti i'arah (perjanjian pinjam meminjam).

Kedua, harta isti'mali, selain sifatnya tolong menolong juga boleh ditransaksikan dengan cara mengambil imbalan, seperti ijarah (perjanjian sewa menyewa).

Pembagian harta kepada istihlaki dan isti'mali ini terlihat dalam hal dapat tidaknya harta tersebut menjadi objek dalam suatu perjanjian. Karena ada beberapa perjanjian yang ditujukan kepada manfaat harta bukan kepada zatnya.

5. Lalu selanjutnya, jika ditinjau dari segi status/kepemilikan harta, harta juga dapat dibedakan kepada 3 jenis, yaitu:

a. Mal al-mamluk (harta yang sudah dimiliki) yaitu suatu harta yang berada di bawah kekuasaan atau kepemilikan baik secara perseorangan, kelompok masyarakat maupun badan hukum seperti pemerintah, organisasi ataupun yayasan, kecuali terjadi akad-akad yang memindahkan kepemilikan.

b. Mal al-mubah (harta bebas/yang tidak dimiliki) yaitu harta yang tidak ada pemiliknya, seperti binatang di hutan belantara, ikan di lautan dan lain sebagainya. Harta seperti ini dapat dimiliki setiap orang karena mungkin dikuasai dan disimpan, kecuali ada sebab-sebab tertentu.

c. Mal al-mahjur (harta yang tidak boleh dimiliki) yaitu harta yang menurut syara' tidak boleh dimiliki dan diserahkan kepada orang lain. Jadi harta ini tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi tertentu. Seperti harta wakaf dan harta yang diperuntukkan bagi kepentingan umum.

Nah, akibat hukum pada pembagian harta bentuk ini yaitu:

Pertama, Mal al-mamluk apabila milik negara, maka pemanfaatannya ditujukan untuk kepentingan masyarakat umum dan masyarakat yang memanfaatkannya tidak boleh merusak harta itu dan tidak dapat dijadikan milik pribadi. Apabila milik suatu lembaga/organisasi, maka pemanfaatannya untuk kepentingan lembaga/organisasi ataupun anggotanya tanpa merugikan orang lain yang tidak ikut dalam lembaga/organisasi tersebut. Untuk harta milik seseorang, dia bebas menggunakannya sesuai aturan syara', namun jika terdapat hak orang lain seperti jaminan utang, atau sedang disewa orang maka pemiliknya tidak boleh bertindak hukum dengan menghilangkan hak-hak orang lain tersebut.

Kedua, Apabila harta tersebut milik bersama/berserikat di antara beberapa orang, maka tindakan hukum masing-masing pemilik harta tersebut terbatas pada tindakan yang tidak merugikan hak-hak teman serikatnya. Oleh sebab itu, masing-masing pihak tidak boleh merusak atau menghilangkan harta tersebut, juga tidak boleh merubah bentuknya, dan tidak dibenarkan melakukan suatu tindakan di luar batas-batas yang sudah disepakati bersama oleh para pemilik harta bersama/berserikat.

Ketiga, Mal al-mubah sebagai harta yang tidak berada di bawah penguasaan seseorang, maka harta tersebut dapat dikuasai dan disimpan oleh siapapun dengan usaha yang dilakukannya.

Lalu yang terakhir, Mal al-mahjur sebagai harta yang dilarang syara' untuk memilikinya, maka harta ini ialah harta yang dapat dimanfaatkan dan diperuntukkan hanya untuk kepentingan umum.

6. Ditinjau dari segi dapat atau tidaknya dibagi, harta dapat dibedakan kepada:

a. Qabilu lil qismah, yaitu harta yang dapat dibagi dan tidak akan menimbulkan kerusakan atau mengurangi manfaat harta tersebut. Seperti, beras, tepung, minyak dan air boleh dibagi tanpa merusak dan mengurangi manfaatnya.

b. Ghairu qabili lil qismah, yaitu harta yang tidak akan bisa dimanfaatkan jika dibagi, karena harta tersebut akan rusak dan tidak bermanfaat. Seperti, meja, kursi, piring, gelas dan lain-lain

Selanjutnya, akibat hukum dari pembagian harta kepada bentuk ini adalah sebagai berikut:

Pertama, syirkah pada harta yang dapat dibagi boleh dilakukan eksekusi putusan hakim berdasarkan "qismah at-tafriq" yaitu pembagian berdasarkan pemisahan. Seperti sebidang tanah dibagi menjadi bagian utara dan bagian selatan. Berbeda dengan harta yang tidak dapat dibagi, caranya adalah berdasarkan "qismah ridhaiyah" yaitu pembagian berdasarkan kerelaan masing-masing pihak.

Kedua, syirkah pada harta yang tidak dapat dibagi, apabila pemilik bagian itu memberikan kepada orang lain maka pemberian itu sah. Untuk harta yang dapat dibagi pemberian itu tidak sah sebelum diadakan pembagian lebih dahulu.

Ketiga, syirkah pada harta tidak bergerak yang dapat dibagi, jika memerlukan biaya yang mendesak diberikan oleh salah seorang pemilik tanpa izin teman serikatnya atau tanpa perintah hakim, sementara teman tersebut tidak mau memberikan biaya yang dibutuhkan, maka biaya yang telah dikeluarkan itu dianggap sebagai pengeluaran sukarela dan tidak dapat dimintakan ganti rugi kepada teman serikat. Apabila harta serikat itu harta yang tidak dapat dibagi, maka biaya yang telah dikeluarkan itu dapat dimintakan ganti rugi.

7. Ditinjau dari segi perkembangannya, apakah harta itu dapat berkembang atau tidak, baik perkembangannya melalui hasil atau melalui upaya manusia maupun dengan cara sendirinya berdasarkan ciptaan Allah, harta tersebut dapat pula dibagi kepada:

a. Harta al-ashl (harta asal), yaitu harta yang menghasilkan, artinya harta tersebut memungkinkan untuk terjadinya harta yang lain. Seperti rumah, tanah perkebunan, binatang ternak dan lain-lain.

b. Harta ats tsamar (buah atau hasil), yaitu harta yang dihasilkan dari suatu harta yang lain. Seperti sewa rumah, buah-buahan dari pohon yang ada di kebun, susu sapi, bulu domda, anak kerbau dan lain-lain.

Adapun akibat hukum dari pembagian harta kepada bentuk ini adalah:

1) Harta wakaf pada asalnya tidak boleh dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak menerima wakaf, tetapi hasilnya boleh dibagikan kepada mereka.

2) Harta yang khusus diperuntukkan kepada kepentingan umum, asalnya tidak boleh dibagi-bagikan, tetapi hasilnya boleh dimiliki oleh masyarakat umum.

3) Hasil dari harta yang selama dimilikinya adalah milik dia sekalipun harta tersebut dikembalikan kepada pemilik sebelumnya disebabkan adanya penghalang untuk dimilikinya lebih lanjut. Seperti seseorang membeli sebuah rumah, lalu rumah tersebut disewakannya selama satu bulan, setelah rumah diterimanya dari penyewa diketahui ada cacat, dimana cacat tersebut bukan disebabkan dari orang yang menyewa rumah itu, tetapi memang cacat dari awal ketika membeli, sehingga rumah itu dikembalikan kepada pemilik awal (sipenjual rumah), jadi sewa rumah selama satu bulan tetap menjadi miliknya sekalipun rumah itu setelah disewakan dikembalikan kepada penjualnya, karena rumah tersebut ia sewakan sewaktu menjadi miliknya.

4) Hasil dari harta yang ketika ditransaksikan obyeknya adalah manfaat harta tersebut, maka si pemilik manfaat itu berhak terhadap hasilnya. Seperti seseorang yang menyewa sebuah rumah, dimana satu kamar dari rumah tersebut disewakannya kepada orang lain, maka sewa dari satu kamar tersebut menjadi miliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun