Film animasi Merah Putih: One For All, yang mulai tayang di layar lebar pada 14 Agustus 2025, hadir dengan beban ekspektasi besar. Momentum penayangan menjelang Hari Kemerdekaan tentu dimaksudkan untuk membangkitkan rasa nasionalisme melalui medium sinema populer. Namun, saya merasa film ini lebih banyak meninggalkan rasa penyesalan ketimbang kebanggaan.
Plot cerita yang sebenarnya sederhana, tentang sekelompok anak desa yang ditugaskan menjaga bendera pusaka, lalu kehilangan dan berpetualang mencarinya, memiliki potensi dramatik dan simbolik yang kuat. Sayangnya, potensi itu tidak pernah benar-benar diolah menjadi narasi yang solid. Cerita berjalan seperti kereta yang kehilangan rel, kadang melaju kencang, kadang berhenti mendadak, lalu tiba-tiba berbelok tanpa arah yang jelas.
Salah satu kelemahan mencolok adalah transisi antar adegan yang terasa terburu-buru. Beberapa momen yang semestinya bisa menjadi titik emosional penting, justru ditinggalkan tanpa penjelasan. Akibatnya, penonton sulit membangun ikatan emosional dengan karakter maupun peristiwa yang terjadi. Alih-alih larut dalam alur, penonton dipaksa bertanya, apa sebenarnya yang sedang diceritakan?
Dari sisi penokohan, karakter anak-anak yang menjadi tokoh utama terasa datar. Mereka tidak diberi lapisan kepribadian yang bisa membedakan satu dengan yang lain. Padahal, dalam animasi, penekanan karakter adalah nyawa. Kepribadian yang kuat dapat terbentuk bukan hanya lewat dialog, tetapi juga melalui gerak tubuh, ekspresi wajah, hingga timing komedi. Semua itu sayangnya absen dalam film ini.
Teknik animasinya pun menjadi titik lemah paling mencolok. Gerakan karakter kaku, ekspresi wajah seperti patung lilin, dan seringkali tidak sinkron dengan situasi emosional yang sedang berlangsung. Dalam teori desain animasi modern, fluiditas gerakan dan naturalisme ekspresi adalah kunci menghadirkan ilusi kehidupan. Film ini justru terasa seperti tayangan demo dari studio animasi pemula yang belum matang.
Latar belakang dan dunia visual yang ditampilkan juga mengecewakan. Alih-alih menghadirkan lanskap desa yang kaya detail, film ini terlihat seperti menempelkan wallpaper digital statis di belakang karakter. Tekstur latar kasar, pencahayaan tidak konsisten, dan beberapa adegan bahkan tampak seperti placeholder yang terlupakan dalam tahap produksi.
Nasionalisme dalam film tidak cukup dihadirkan lewat simbol bendera dan upacara. Ia harus berdenyut dalam perjalanan tokoh, konflik, dan keputusan yang jujur. Tanpa itu, film hanya menjadi tempelan visual yang kehilangan jiwa.
Salah satu aspek vital dalam sinema adalah tata suara. Sayangnya, Merah Putih: One For All gagal total di sini. Efek suara minim, mixing audio berantakan, dan dubbing terdengar seperti orang membaca teks tanpa emosi. Ketika karakter berbicara, seolah-olah mereka hanya mengulang kalimat hafalan sambil menunggu pesanan makanan datang. Elemen suara yang seharusnya memperkuat atmosfer malah merusak pengalaman menonton.
Jika benar kabar bahwa film ini dibuat dengan anggaran Rp6,8 miliar, meski dibantah oleh produser sekaligus sutradaranya, pertanyaan besar muncul, di mana uang itu digunakan? Dengan standar biaya tersebut, publik wajar berharap akan mendapatkan tontonan animasi setidaknya setara dengan kualitas studio independen Asia Tenggara lainnya. Namun yang tersaji justru produk yang jauh dari layak layar lebar.
Dari perspektif estetika sinematografi animasi, film ini gagal membangun bahasa visual yang konsisten. Kamera virtual seringkali bergerak tanpa motivasi, framing tidak proporsional, dan ritme penyuntingan terasa acak. Seolah-olah setiap bagian diperlakukan sebagai potongan video terpisah, bukan sebagai bagian dari narasi sinematik yang utuh.
Kritik berikutnya adalah pada penggunaan simbol nasionalisme. Memang ada bendera, merah putih, dan adegan upacara. Namun, semua itu lebih terasa sebagai atribut tempelan daripada nafas utama cerita. Nasionalisme dalam film ini hadir secara artifisial, tidak mengalir organik melalui konflik, keputusan, atau transformasi karakter.
Dalam animasi bertema kebangsaan, yang penting bukan sekadar menghadirkan simbol, tetapi menghidupkan makna simbol itu dalam perilaku dan perjalanan tokoh. Bandingkan dengan film animasi luar negeri yang mampu menjadikan bendera, lagu, atau tradisi bukan sekadar aksesoris, melainkan denyut utama cerita. Di sini, nasionalisme terasa datar, tanpa getaran emosional.
Kelemahan ini semakin diperparah dengan kurangnya riset visual. Representasi desa dalam film ini generik, tidak mengacu pada kultur atau detail geografis tertentu di Indonesia. Padahal, animasi bisa menjadi medium untuk merayakan kekayaan visual Nusantara. Dengan menampilkan keunikan lokal, film seharusnya bisa menancapkan akar nasionalisme yang lebih otentik.
Sebagai tontonan untuk keluarga, film ini juga tidak berhasil memberikan pengalaman hiburan yang memuaskan. Anak-anak mungkin akan bosan karena gerakan karakter yang kaku, sementara orang dewasa akan merasa kehilangan kedalaman cerita. Satu-satunya yang bisa dipetik mungkin hanya niat baik dari pembuatnya untuk menghadirkan tema kebangsaan.
Animasi adalah seni menghidupkan dunia, bukan sekadar memindahkan gambar ke layar. Tanpa riset, detail, dan emosi yang tulus, sebuah film hanya akan menjadi proyek mahal yang tak mampu menyentuh hati penontonnya.Â
Secara akademik, film ini bisa menjadi studi kasus tentang bagaimana ambisi besar tidak cukup jika tidak diiringi perencanaan produksi, riset, dan eksekusi yang matang. Sinema animasi modern menuntut integrasi antara teknologi, seni visual, dan narasi yang kuat. Mengandalkan momentum tanggal rilis saja tidak akan mampu menutup kelemahan mendasar.
Kesimpulannya, Merah Putih: One For All adalah film yang gagal mewujudkan potensinya. Ia bisa menjadi bahan refleksi bagi industri animasi Indonesia: bahwa nasionalisme tidak bisa hanya ditempel lewat simbol, melainkan harus dihidupkan melalui kisah yang jujur, karakter yang manusiawi, dan teknik sinema yang mumpuni. Sayangnya, yang tersaji di layar kali ini hanyalah ambisi yang setengah matang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI