Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Martabat Budaya yang Terinjak, Ondel-Ondel Betawi dan Luka Jakarta

24 Juni 2025   08:19 Diperbarui: 24 Juni 2025   08:19 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengamen ondel-ondel di sebuah perkampungan Jakarta (Sumber: beritanasional.com)

Di tengah riuh ibu kota yang tak pernah tidur, tampak sosok raksasa dengan wajah menyeramkan dan tubuh penuh warna meliuk di antara kendaraan. Ondel-ondel, ikon budaya Betawi, kini tak lagi tampil dalam prosesi sakral atau pertunjukan seni yang dihormati. Ondel-ondel menjelma menjadi pengamen jalanan yang berkeliling demi sekeping rupiah. Suatu ironi budaya yang menggugah nurani.

Ondel-ondel adalah warisan budaya yang dulunya sakral. Dalam ritual adat Betawi, ondel-ondel hadir dalam prosesi baritan atau sedekah bumi, sebagai simbol penjaga kampung, penolak bala, dan penangkal gangguan gaib. Kehadirannya memberi rasa aman dan menjadi bagian dari spiritualitas masyarakat agraris Jakarta tempo dulu.

Dalam tradisi lisan Betawi, ondel-ondel bukan sekadar boneka besar. Ia diyakini sebagai representasi kekuatan baik yang menghalau energi jahat. Wujudnya yang besar dan wajahnya yang khas justru dimaksudkan untuk menakuti makhluk tak kasat mata, bukan menakuti warga kota yang menyaksikannya di perempatan lampu merah.

Namun kini, peran itu memudar. Perubahan sosial ekonomi, tekanan urbanisasi, dan ketiadaan ruang budaya yang representatif, menjadikan ondel-ondel turun kasta menjadi sekadar atraksi jalanan. Lebih dari sekadar kehilangan fungsi, ondel-ondel kehilangan martabat budaya.

Tradisi Betawi yang seharusnya berkembang di ruang edukatif dan artistik, justru mengalami peminggiran dalam sistem kota yang terlalu sibuk mengejar kemajuan fisik tanpa menengok pada akar budayanya. Jakarta seakan melupakan denyut nadi leluhurnya sendiri. Masyarakat menyaksikan ondel-ondel sebagai hiburan jalanan. Boneka besar yang digerakkan oleh pemuda bermodal seadanya, diiringi speaker portabel yang memekakkan telinga. Tak ada narasi budaya, tak ada pesan kearifan lokal. Realitas yang ada hanyalah tuntutan ekonomi yang mendesak.

Ondel-ondel bukan sekadar boneka raksasa, ia adalah penjaga ruh kampung dan simbol perlawanan terhadap lupa diri. Jika kita membiarkannya terpuruk di jalanan, sama saja kita sedang membiarkan identitas kita terkikis oleh arus zaman tanpa perlawanan.

Keberadaan ondel-ondel di jalanan adalah gambaran ketimpangan ekosistem kebudayaan urban. Budaya lokal tak diberi ruang tumbuh dan beradaptasi secara profesional. Padahal, ondel-ondel bisa tampil elegan di panggung-panggung seni, ruang publik, pusat perbelanjaan, hingga ajang internasional sebagai representasi budaya Jakarta yang otentik.

Perayaan ulang tahun Jakarta yang ke-498 pada 22 Juni lalu menjadi momen reflektif. Sudahkah Pemprov Jakarta menaruh perhatian serius terhadap budaya Betawi, termasuk ondel-ondel? Ataukah perayaan hanya berhenti pada seremoni sesaat tanpa membangun sistem yang membesarkan warisan budaya ini?

Pemerintah daerah seharusnya membangun ekosistem seni budaya Betawi hingga ke level kelurahan dan kecamatan. Bayangkan jika setiap wilayah memiliki sanggar budaya Betawi yang aktif, di mana ondel-ondel diajarkan dan ditampilkan secara layak, mendidik generasi muda sekaligus memberi ruang ekonomi kreatif bagi seniman lokal.

Dalam era kota global, Jakarta bisa mencontoh kota-kota seperti Kyoto, Seoul, atau Istanbul yang mampu memadukan identitas tradisi dengan modernitas. Budaya Betawi, termasuk ondel-ondel, bisa menjadi magnet wisata budaya yang bernilai tinggi bila dikelola secara profesional dan berkelanjutan.

Pemerintah bisa mendorong regulasi yang membatasi eksploitasi ondel-ondel sebagai pengamen jalanan, sembari memberi solusi berupa pelatihan, fasilitasi sanggar, dan program pendanaan berbasis komunitas. Budaya seharusnya dimuliakan, bukan dieksploitasi. Selain itu, perlu dibuat kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah Jakarta yang mengajarkan sejarah, makna, dan praktik budaya Betawi secara langsung. Dengan demikian, ondel-ondel dan elemen budaya lainnya tidak hanya dikenang sebagai simbol, tetapi juga diwariskan secara utuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun