Jepara, sebuah kabupaten pesisir di utara Jawa Tengah, dikenal sebagai daerah maritim yang kaya akan budaya dan seni ukir. Namun, di balik prestasi dan potensi daerahnya, Jepara menyimpan persoalan mendasar dalam sektor pendidikan inklusif.Â
Salah satunya adalah persoalan akut terkait akses pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus atau anak disabilitas. Realitas hari ini, Jepara yang memiliki 16 kecamatan dan luas wilayah mencapai 1.004 kilometer persegi, hanya memiliki satu Sekolah Luar Biasa (SLB), yaitu di Desa Senenan, Kecamatan Tahunan.
Kondisi ini tentu tidak ideal. Satu-satunya SLB di Senenan hanya mampu menjangkau sebagian wilayah, seperti Kecamatan Jepara, Tahunan, Kedung, Batealit, dan Pakisaji.Â
Sementara itu, anak-anak disabilitas di wilayah yang lebih jauh seperti Donorojo di ujung utara, Nalumsari di timur, atau Keling di bagian timur laut harus menempuh perjalanan sangat jauh atau bahkan sama sekali tidak memiliki akses pendidikan formal.Â
Jarak geografis yang membentang dan keterbatasan konektivitas transportasi membuat banyak anak berkebutuhan khusus terancam putus sekolah atau tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali.
Dari perspektif hak asasi manusia, kondisi ini melanggar prinsip dasar nondiskriminasi dan kesetaraan akses atas layanan publik, khususnya pendidikan.Â
Pasal 28C dan 31 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara atas pendidikan, dan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mempertegas hak penyandang disabilitas atas pendidikan yang inklusif, bermutu, dan tanpa diskriminasi. Namun, kenyataan di Jepara menunjukkan masih adanya ketimpangan struktural yang membatasi realisasi hak tersebut.
Anak disabilitas bukan beban, melainkan cahaya yang butuh jalan. Ketika negara hadir lewat akses pendidikan yang adil, kita sedang membuka gerbang masa depan yang lebih setara, lebih manusiawi, dan lebih bermartabat bagi semua.
Data penduduk penyandang disabilitas di Jepara hingga akhir 2024 mencatat sebanyak 1.394 orang dengan berbagai kriteria disabilitas. Namun ironisnya, data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jepara mencatat ada 1.344 penyandang disabilitas yang tercatat sebagai pemilih dalam Pemilu 2024.Â
Ini menunjukkan bahwa data anak-anak disabilitas yang belum memasuki usia pemilih belum terdokumentasi secara optimal. Minimnya pendataan ini menjadi indikator lemahnya sistem pemetaan kebutuhan disabilitas di tingkat desa, yang semestinya menjadi basis perencanaan pembangunan sosial inklusif.
Stigma sosial yang masih kental di masyarakat pedesaan juga memperparah situasi. Sebagian keluarga masih menyembunyikan anak disabilitas karena dianggap sebagai aib atau beban.Â