Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Putusan MK dan Tamparan Keras bagi Negara Untuk Pendidikan Gratis

31 Mei 2025   12:47 Diperbarui: 31 Mei 2025   12:47 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi putusan MK atas jaminan sekolah gratis untuk semua warga negara (Sumber: prokalteng.jawapos.com)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada 27 Mei 2025 menjadi tonggak penting dalam perjalanan hak pendidikan di Indonesia. Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa negara wajib menjamin pendidikan dasar gratis bagi seluruh warga negara, tanpa diskriminasi atas status sekolah, baik negeri maupun swasta. Ini bukan sekadar tafsir hukum, tetapi afirmasi terhadap semangat konstitusi dan nilai hak asasi manusia yang mengutamakan akses dan kesetaraan pendidikan bagi semua.

Dalam konteks kebijakan publik, pendidikan dasar bukan sekadar layanan, tetapi hak fundamental yang menjadi fondasi pembangunan bangsa. Ketika negara menjamin pendidikan dasar tanpa biaya, maka itu berarti negara sedang melindungi hak anak atas masa depan, membangun modal sosial, dan memastikan bahwa tak satu pun anak tertinggal karena faktor ekonomi.

Penting dicatat bahwa MK menekankan perlunya negara bertanggung jawab penuh bahkan ketika peserta didik mengakses sekolah swasta. Ini relevan dengan kondisi lapangan di banyak daerah, di mana ketersediaan sekolah negeri terbatas, dan sekolah swasta menjadi satu-satunya alternatif. Dalam kasus demikian, logika keadilan dan tanggung jawab negara tidak bisa dilepaskan.

Selama ini, paradigma yang berkembang adalah bahwa sekolah swasta sepenuhnya menjadi urusan yayasan atau pihak pengelola. Namun dengan putusan MK ini, negara tak bisa lagi sekadar menjadi pengawas dari jauh. Negara harus turun tangan jika keberadaan sekolah swasta menjadi vital dalam penyediaan pendidikan dasar.

Amar putusan MK ini harus dibaca dalam konteks yang lebih luas, yaitu memperkuat kebijakan wajib belajar 15 tahun yang telah menjadi komitmen nasional. Tidak mungkin target wajib belajar bisa tercapai bila biaya menjadi penghalang, terlebih di tingkat dasar yang seharusnya menjadi titik awal inklusi pendidikan. Kita perlu mengapresiasi bahwa MK tidak mengabaikan otonomi penyelenggaraan sekolah swasta. Justru, dengan menjaga prinsip otonomi namun sekaligus mendorong tanggung jawab negara, MK menunjukkan jalan tengah yang berkeadilan. Negara tidak serta-merta mencampuri manajemen sekolah, tetapi wajib hadir menjamin pembiayaan peserta didik jika akses terhadap sekolah negeri terbatas.

Dalam perspektif keadilan sosial, pembiayaan pendidikan dasar bagi siswa di sekolah swasta merupakan bentuk affirmative action. Ini bukan soal menyeragamkan semua sekolah, tetapi menjamin bahwa semua anak, apapun latar belakang sosial-ekonominya, memiliki hak yang setara untuk memperoleh pendidikan dasar.

Putusan ini juga menjadi pengingat bagi para pembuat kebijakan pendidikan, yaitu perlunya sistem pembiayaan yang adaptif dan berbasis data spasial. Pemerintah daerah harus mampu memetakan wilayah-wilayah yang kekurangan sekolah negeri dan secara aktif mengalokasikan subsidi atau dana BOS afirmatif kepada sekolah swasta yang berfungsi sebagai penyelenggara pendidikan dasar tunggal di wilayahnya.

Kementerian Pendidikan bersama Kementerian Keuangan dan Kemendagri perlu segera merumuskan mekanisme anggaran yang memungkinkan transfer fiskal atau skema pendanaan khusus untuk anak-anak di sekolah swasta dalam konteks kewajiban negara memenuhi pendidikan dasar gratis. Lebih dari itu, keputusan MK ini juga menyentuh aspek moral kebijakan. Apakah negara hanya hadir ketika sekolah itu "berlabel negeri"? Atau negara hadir untuk setiap warga negaranya, terutama anak-anak yang merupakan kelompok paling rentan dalam struktur sosial?

Putusan ini juga menantang kita semua untuk membangun sistem pendidikan yang inklusif secara substansial, bukan sekadar administratif. Dalam banyak kasus, orang tua terpaksa menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta karena tak tertampung di sekolah negeri. Jika biaya pendidikan swasta tak dijamin, maka ketimpangan akan terus melebar.

Sebagai negara yang berkomitmen pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Goal 4 tentang pendidikan berkualitas, Indonesia tidak bisa membiarkan akses pendidikan dasar menjadi eksklusif. Putusan MK ini harus menjadi bagian integral dari strategi nasional mencapai SDGs dan memastikan tidak ada anak yang tertinggal.

Implementasi putusan ini membutuhkan political will dan koordinasi lintas sektor. Tidak cukup hanya berdasar putusan yuridis, perlu keberanian politik untuk mendesain sistem pendidikan yang benar-benar meletakkan anak sebagai subjek utama kebijakan, bukan hanya objek statistik pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun