Pendidikan sejatinya adalah proses pembebasan, bukan sekadar transfer pengetahuan. Dalam dunia yang terus berubah, anak-anak kita tidak cukup hanya dijejali teori di kelas, lalu dibebani pekerjaan rumah (PR) yang menyita waktu eksplorasi mereka. Pendidikan yang membebaskan harus mengizinkan anak untuk hidup, bukan hanya belajar.
Langkah Gubernur Jawa Barat, Dedy Mulyadi, melarang pemberian PR kepada siswa merupakan angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia. Ini bukan sekadar kebijakan, melainkan paradigma baru yang menempatkan anak sebagai subjek pembelajaran, bukan sekadar objek pengajaran.
Larangan PR sejatinya bukan hal baru. Pemkot Surabaya telah menerapkannya sejak November 2022 bagi siswa SD hingga SMP. Bahkan Pemkot Blitar lebih dulu, sejak Juli 2018. Ini menunjukkan bahwa perubahan pendekatan pendidikan tanpa PR bukanlah eksperimen, melainkan arah reformasi yang sistematis dan berbasis pada kebutuhan anak.
Materi pelajaran semestinya dituntaskan di sekolah. Di situlah tempatnya guru menjalankan fungsinya secara maksimal sebagai fasilitator pembelajaran. Sementara rumah bukanlah ruang kelas cadangan, melainkan ruang kehidupan yang harus dihormati dan dihargai oleh sistem pendidikan.
Anak-anak tak dilahirkan untuk menumpuk tugas, tapi untuk tumbuh, bermain, dan bermimpi. Pendidikan sejati bukan soal banyaknya PR, tapi tentang bagaimana hidup menjadi ruang belajar yang menyenangkan dan penuh makna.
Alih-alih membawa setumpuk tugas akademik ke rumah, anak-anak perlu diberikan ruang untuk mengaktualisasikan pembelajaran dalam aktivitas sehari-hari. Memasak bersama ibu bisa menjadi pelajaran kimia dan matematika. Menyiram tanaman bisa menjadi pelajaran biologi. Membantu ayah memperbaiki sepeda bisa jadi pelajaran fisika terapan.
Pembelajaran yang bermakna tidak hanya terjadi di meja belajar, tapi juga di meja makan, di taman, di ruang tamu, bahkan di dapur. Ketika pelajaran terintegrasi dalam kehidupan nyata, anak-anak tidak hanya memahami ilmu, tetapi menghidupi ilmu itu sendiri.
Dengan dihapusnya PR, anak-anak memiliki waktu lebih untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka. Ada yang bisa mengasah kemampuan menggambar, bermain musik, menari, menulis cerita, atau menekuni olahraga. Ini adalah bagian dari proses menjadi manusia utuh, bukan hanya manusia akademik.
Pendidikan yang baik tidak menstandarkan semua anak. Ia memberi ruang bagi keberagaman potensi. Tidak semua anak akan menjadi ilmuwan, tetapi setiap anak memiliki potensi untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Pendidikan harus menjadi jembatan menuju keunikan itu.
PR yang berlebihan justru sering menjadi sumber stres, baik bagi anak maupun orang tua. Konflik di rumah kerap muncul hanya karena tugas tidak selesai. Alih-alih menjadi ruang aman, rumah berubah menjadi tempat tekanan. Inilah paradoks pendidikan kita selama ini.
Waktu luang yang didapatkan dari dihapuskannya PR bisa dimanfaatkan anak untuk belajar mengaji, memperkuat spiritualitas, dan memperdalam nilai-nilai kehidupan. Ini sangat penting dalam membentuk karakter anak di tengah arus deras digitalisasi dan budaya instan.