Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Tanpa Wakil di Final Thailand Open 2025, Alarm Keras Sistem Pembinaan

18 Mei 2025   04:28 Diperbarui: 18 Mei 2025   04:28 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Atlet ganda campuran Indonesia, Amri/Nita sebagai sektor terakhir yang memastikan Indonesia tanpa wakil di final Thailand Open 2025 (Sumber: pbsi.id)

Gelaran Thailand Open 2025 kembali menyuguhkan ironi bagi dunia bulutangkis Indonesia. Harapan yang sempat menggantung di pundak Amri Syahnawi/Nita Marwah di sektor ganda campuran pupus setelah mereka ditundukkan pasangan kuat asal China, Feng Yan Zhe/Huang Dong Ping, dalam dua gim langsung 18-21, 13-21 di semifinal yang berlangsung Sabtu (17/5) di Nimibutr Stadium, Bangkok. Kegagalan ini menandai bahwa Indonesia resmi tanpa wakil di partai final turnamen BWF Super 500 tersebut.

Lebih menyesakkan, kekalahan telak justru datang dari sektor andalan kita, ganda putra. Fajar Alfian/Rian Ardianto, pasangan unggulan pertama sekaligus ranking 4 dunia, terjungkal secara mengejutkan dari pasangan non-unggulan Denmark, Willem Boe/Christian Kjaer, yang hanya berada di peringkat 75 dunia. Skor 13-21 dan 12-21 membuat luka kolektif yang lebih dalam, bukan hanya karena kekalahan, tetapi karena kualitas permainan yang jauh dari kata layak untuk standar pemain papan atas dunia.

Rangkaian hasil buruk ini bukan sekadar kejadian insidental. Ini adalah alarm kritis yang berbunyi lantang. Ketika negara-negara rival seperti China, Jepang, Korea Selatan, bahkan Denmark, terus memoles dan mengembangkan unit-unit elite mereka dengan sains olahraga modern dan filosofi taktik progresif, Indonesia seperti monoton berjalan di tempat. Bahkan dalam beberapa sektor, mulai tertinggal.

Masalahnya bukan hanya di lapangan. Kelemahan Indonesia terletak pada manajemen pembinaan dan strategi teknik yang terlalu berbasis tradisi tanpa keberanian berevolusi. Teknik-teknik lama yang sudah terbaca di panggung internasional terus diulang. Tidak ada inovasi taktik, variasi pukulan, atau pembaruan dalam metodologi pemulihan fisik dan mental atlet. Akibatnya, atlet Indonesia tampak mudah lelah dan lambat membaca pola lawan.

Prestasi tak lahir dari tradisi semata, tapi dari keberanian untuk berubah. Kekalahan hari ini adalah panggilan untuk revolusi teknik, mental, dan sistem. Jika kita ingin juara, kita harus berani meninggalkan zona nyaman.

Indonesia masih terlalu bergantung pada bakat alam dan semangat tempur. Dua hal yang memang penting, tapi tidak cukup dalam lanskap kompetisi yang kini digerakkan oleh presisi dan teknologi. Thailand Open 2025 harus menjadi titik tolak untuk menyusun ulang arsitektur pengembangan teknik nasional kita. Jika tidak, ke depan Indonesia hanya akan jadi peserta penggembira di turnamen level Super 750 atau bahkan Super 1000. Kita butuh revolusi sistem, bukan tambal sulam solusi. Fokus pengembangan harus bergeser dari sekadar teknik dasar menjadi pendekatan ilmiah menyeluruh terhadap performa atlet.

Pembinaan usia dini wajib didesain dengan modul yang lebih adaptif terhadap tren global. Anak-anak didik di pelatnas atau klub-klub elite harus dibekali dengan perangkat teknologi pelatihan seperti motion capture, recovery tracking, hingga software analisis lawan. Data menjadi bahan evaluasi utama, bukan hanya intuisi pelatih. Terlebih, para pemain muda Indonesia sedang masa tour turnamen di Eropa, dari Luxembourg Open, Denmark Challenge, dan Slovenia Open. 

Selain itu, tim pendukung atlet seperti psikolog olahraga, ahli fisiologi, analis statistik pertandingan, dan nutrisionis profesional, harus menjadi bagian tetap dalam setiap persiapan turnamen. Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pelatih tunggal dan "feeling" dari pengalaman masa lalu. Dunia bulutangkis saat ini adalah pertarungan antara sistem terbaik, bukan sekadar nama besar.

Manajemen beban tanding juga harus dibenahi. Banyak atlet Indonesia yang mengalami kelelahan akibat penjadwalan turnamen yang terlalu padat tanpa pemulihan optimal. Di saat rival dari China atau Jepang bisa datang dengan kondisi prima karena strategi rotasi pemain yang matang, atlet Indonesia kerap tiba dengan tubuh setengah pulih.

Sektor ganda campuran dan ganda putra kita masih lebih baik daripada sektor lain di Thailand Open 2025. Bila Indonesia masih ingin memiliki taring di panggung dunia, maka gelaran seperti Thailand Open ini harus diperlakukan sebagai cermin jujur untuk berbenah, bukan sekadar lembar statistik yang disesali. Ke depan, masih ada Malaysia Series 500, Singapore Series 750, dan Indonesia Open Super 1000. Persaingan akan semakin ketat baik untuk peningkatan skor ranking dunia maupun menguji stabilitas fisik pemain dari kelelahan turnamen ke turnamen yang ada.

Perlu juga penataan ulang dalam pembinaan taktik pertandingan. Atlet muda harus dilatih untuk memiliki fleksibilitas strategi dalam tempo cepat. Seorang pemain top dunia harus bisa mengubah ritme permainan dalam 3-5 poin, bukan menunggu satu gim penuh. Ini hanya bisa terjadi jika pelatihan mereka sudah dibekali pemahaman taktik yang lebih dalam dari sejak dini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun