Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Alarm Bahaya dari Thailand Open 2025, Indonesia Butuh Revolusi Teknik dan Data!

16 Mei 2025   19:10 Diperbarui: 16 Mei 2025   19:10 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ganda putri Indonesia, Febriana/Pratiwi (Sumber: bolasport.com)

Thailand Open 2025 seharusnya menjadi panggung bagi atlet-atlet Indonesia menunjukkan taji, terutama di sektor ganda dan tunggal yang selama ini menjadi tumpuan harapan. Namun, realitas di Nimibutr Stadium, Bangkok, justru memunculkan ironi. Pada babak perempat final, para wakil Indonesia tersingkir. Bukan hanya itu, kekalahan demi kekalahan yang terjadi sejak babak awal menunjukkan adanya krisis mendalam, baik dari sisi teknik, strategi, maupun sistem pengembangan atlet kita.

Kekalahan paling menyakitkan datang dari sektor ganda putri. Febriana Dwipuji Kusuma/Amallia Cahaya Pratiwi yang menempati ranking 8 dunia secara mengejutkan tumbang dari pasangan muda Korea Selatan, Jeong Na Eun/Lee Yeon Woo, yang hanya berperingkat 105 dunia. Skor 13-21 dan 8-21 menjadi bukti bahwa angka di atas kertas tidak lagi menjamin dominasi di lapangan jika tak dibarengi pembaruan taktik dan pembinaan adaptif. Padahal pada gelaran Thailand Open 2024, Ana/Tiwi berhasil meraih runner up.

Hal serupa terjadi pada pasangan Rachel Allessya Rose/Meilysa Trias Puspitasari yang menempati ranking 51 dunia. Mereka harus mengakui keunggulan Rui Hirokami/Sayaka Hobara dari Jepang yang bahkan hanya berperingkat 244 dunia. Kekalahan 9-21 dan 16-21 ini adalah bukti telanjang bahwa sistem pelatihan kita belum mampu membentuk daya improvisasi dan respons strategis saat menghadapi pola permainan yang tidak familiar.

Di sektor ganda putra, Sabar Karyaman/Reza Pahlevi yang berada di posisi ranking 8 dunia juga harus angkat koper lebih cepat usai dikalahkan pasangan Thailand Kittinupong Kedren/Dechapol Puavaranukroh yang berperingkat 16 dunia. Kekalahan dua gim langsung, 18-21 dan 13-21, menandai bahwa dominasi teknik individu belum cukup jika tidak didukung dengan dinamika permainan ganda yang solid dan adaptif.

Kemenangan tak lagi ditentukan ranking, tapi oleh siapa yang lebih siap secara teknik, mental, dan data. Jika Indonesia ingin kembali berjaya, revolusi pembinaan dan sains olahraga harus jadi fondasi utama.

Kondisi di sektor tunggal juga tak lebih menggembirakan. Di babak-babak awal, tunggal putra dan putri Indonesia tereliminasi lebih cepat dari harapan. Para pemain seperti Putri Kusuma Wardani, Komang Ayu Cahya Dewi, dan Alwi Farhan yang diharapkan mampu menembus setidaknya perempat final, justru gagal mengembangkan permainan. Mereka tampil monoton, terbaca, dan mudah dipatahkan dalam rally-rally panjang oleh pemain yang lebih fleksibel dan agresif.

Putri KW, misalnya, gagal menunjukkan progres dari sisi variasi pukulan dan pengambilan keputusan cepat di tengah tekanan. Padahal lawannya tidak berada pada peringkat yang jauh lebih tinggi. Sementara Alwi tampil dengan mental bertanding yang kurang stabil dan pengambilan posisi yang lamban dalam situasi bertahan. Ini menandakan kelemahan dalam aspek refleks dan kesiapan kognitif yang seharusnya dapat diasah melalui pendekatan sport science yang lebih serius. Bisa jadi, ada faktor kelelahan maupun belum move on dari turnamen satu ke turnamen lain yang diikuti hampir beriringan.

Dari kacamata teknik olahraga modern, kekalahan ini bukan hanya karena lawan bermain lebih hebat, melainkan karena kita belum melakukan modernisasi menyeluruh dalam sistem pelatihan dan pengembangan atlet. Banyak federasi negara lain sudah menerapkan sistem pelatihan berbasis data-driven performance dan situational drills, yang belum menjadi arus utama di pelatnas maupun klub-klub lokal kita.

Pola permainan kita masih cenderung konvensional. Reli panjang, eksploitasi kekuatan otot, dan pola "tahan hingga lawan lelah" sudah ketinggalan zaman. Kini, negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, bahkan Thailand, mengembangkan permainan berbasis tempo cepat, pressure-oriented, dan improvisasi rotasi yang membuat pemain kita kelelahan secara mental bahkan sebelum fisik mereka terkuras.

Teknologi dalam sport science seperti AI motion tracking, pemetaan kelemahan lawan dengan video taktik real-time, hingga biomechanical feedback loop telah menjadi standar di banyak akademi bulu tangkis global. Sementara Indonesia terkesankan mengandalkan jam terbang dan naluri bertanding sebagai acuan utama, ditandai dengan target point ranking dunia. Di tengah persaingan global, pendekatan ini jelas akan mudah tertinggal.

Sebagai contoh, Febriana/Amallia dan Rachel/Meilysa terlihat gagap saat menghadapi pola permainan yang tidak sesuai ekspektasi. Tidak ada plan B yang jelas, rotasi serangan tidak sinkron, dan ketidakmampuan membaca arah permainan menjadi fatal. Hal ini dapat diatasi jika dalam latihan mereka telah dibiasakan menghadapi berbagai simulasi pertandingan yang kompleks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun