Pemerintah juga perlu mengambil peran lebih besar dalam mendekonstruksi mitos vasektomi. Edukasi publik, terutama lewat tokoh agama, tokoh masyarakat, dan influencer laki-laki, sangat diperlukan. Pendekatan kultural dan bahasa yang membumi akan membantu mengikis rasa takut dan malu para pria untuk terlibat dalam KB. Ketika laki-laki mulai aktif dalam KB, maka relasi gender dalam rumah tangga menjadi lebih sehat. Anak-anak pun akan tumbuh dalam lingkungan yang menyaksikan praktik kesetaraan dan tanggung jawab bersama, sebuah fondasi sosial penting bagi pembangunan karakter bangsa.
Ketika perempuan lelah menanggung efek kontrasepsi, vasektomi menjadi jawaban adil bagi suami yang ingin peduli. Bukan soal alat, tapi soal sikap: bahwa menjaga keluarga adalah tugas bersama, bukan beban sepihak.Â
Sebuah masyarakat yang modern tidak hanya ditandai oleh gedung pencakar langit dan teknologi digital, tapi juga oleh relasi rumah tangga yang adil dan beradab. Vasektomi, dalam konteks ini, adalah pilihan beradab yang layak dipertimbangkan oleh para pria Indonesia yang ingin membangun keluarga sehat dan berdaya.
Jika kita ingin mewujudkan bonus demografi yang berkualitas, maka sudah saatnya kebijakan kependudukan diarahkan bukan hanya kepada perempuan, tetapi juga laki-laki. Membebaskan perempuan dari monopoli beban KB adalah langkah progresif yang sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan kesetaraan gender.
Maka, mari ubah narasi bahwa vasektomi bukan sekadar prosedur medis, tapi simbol keberanian, kedewasaan, dan cinta sejati. Di balik jarumnya yang kecil, tersimpan harapan besar untuk keluarga yang lebih seimbang dan masa depan bangsa yang lebih cerah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI