Di tengah dunia yang serba digital, tantangan pengasuhan anak tak lagi sederhana. Anak-anak Generasi Alpha, yang lahir setelah 2010, dilahirkan dalam pelukan layar gawai dan iklan makanan cepat saji. Tanpa pengasuhan yang cermat, mereka tumbuh dalam ekosistem yang menormalisasi makanan instan, budaya makan sambil bermain gadget, dan preferensi rasa instan yang merusak fondasi nutrisi.
Ketika anak menolak makan sayur, hanya mau makanan kemasan, dan tak bisa lepas dari tablet saat makan, banyak orang tua memilih jalan pintas, menjadi otoriter. Kalimat seperti "Kalau nggak makan sayur, Mama marah!" atau "Matikan HP sekarang juga!" menjadi biasa. Tapi adakah cara lain yang lebih manusiawi, lebih berdampak jangka panjang, dan tetap membuat anak sehat?
Pengasuhan ketat ala VOC bukanlah jawaban. Gaya otoriter memang terlihat "efektif" jangka pendek, namun menyisakan luka emosional, perlawanan pasif, hingga hubungan yang rapuh antara anak dan orang tua. Kita butuh pendekatan baru berupa transformational parenting, yaitu gaya pengasuhan yang membangun kesadaran anak dari dalam, mengajak mereka menjadi bagian dari proses, bukan objek yang harus dikontrol. Bukan hanya soal disiplin, tapi soal menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab diri sejak dini.
Anak yang dipahami akan lebih mudah dibimbing. Makan sehat dimulai bukan dari paksaan, tapi dari koneksi yang tulus di meja makan.
Langkah pertama, libatkan anak dalam proses makan sejak awal. Ajak mereka memilih bahan makanan di pasar, menyentuh sayuran segar, mencium aroma rempah. Ketika anak merasa punya andil dalam proses, mereka lebih mudah menerima makanan sebagai bagian dari ekspresi diri, bukan kewajiban.
Banyak orang tua tak sabar dengan proses ini. Tapi perlu diingat bahwa generasi Alpha ini terlahir dalam budaya visual dan interaktif. Maka, gunakan itu sebagai alat. Buat permainan sederhana, "Hari ini kita jadi koki warna hijau, yuk bikin piring penuh warna!" atau "Ayo tebak rasa! Ini wortel atau labu?"
Kedua, hindari penggunaan gadget sebagai suap atau pengalih. Jangan biasakan makan sambil menonton. Saat gawai menjadi "teman makan", anak kehilangan koneksi dengan tubuhnya. Ia tak tahu kapan kenyang, apa yang ia makan, dan menganggap makanan sebagai momen hiburan, bukan kebutuhan tubuh.
Ganti momen makan menjadi ritual sosial dan emosional. Jadikan meja makan sebagai zona komunikasi keluarga, baik bercerita, tertawa, dan mendengarkan. Anak yang merasa didengar akan lebih terbuka menerima masukan, termasuk soal pilihan makanannya.
Ketiga, gunakan pendekatan psikologi positif dan bahasa yang membangun. Alih-alih berkata, "Jangan pilih-pilih!" katakan "Tubuhmu butuh banyak warna agar bisa bermain lebih lama dan berpikir lebih cepat." Anak bukan robot, ia perlu logika sederhana dan inspirasi, bukan ancaman.
Tak kalah penting, berikan contoh nyata. Anak adalah peniru ulung. Bila orang tua doyan junk food dan sibuk dengan gadget saat makan, jangan harap anak bisa disiplin. Transformational parenting menuntut transformasi bukan hanya pada anak, tapi juga pada orang tuanya.
Keempat, kenalkan anak pada emosi makan. Ajak mereka bertanya pada tubuh: "Perutmu lapar atau bosan?" "Kalau habis makan ini, tubuhmu rasanya ringan atau berat?" Proses ini mengasah kesadaran tubuh (body awareness) yang menjadi fondasi kebiasaan makan sehat jangka panjang.