Keberhasilan Hamas dalam menekan Israel untuk melanjutkan perjanjian gencatan senjata tahap kedua menandai titik penting dalam dinamika konflik yang terus berkembang di kawasan Timur Tengah. Setelah Israel membebaskan 596 tahanan Palestina dalam tahap ketujuh pembebasan, tercipta momentum baru dalam diplomasi perang yang dipertahankan Hamas. Keputusan Israel ini bukan hanya respons terhadap tekanan Hamas tetapi juga refleksi dari perubahan strategi perang dan negosiasi yang terjadi selama pertempuran.
Gencatan senjata tahap pertama ditutup dengan Palestina menyerahkan empat jenazah sandera Israel melalui prosedur tertutup pada 26 Pebruari 2025. Sebuah langkah yang berbeda dari biasanya yang sering dilakukan dengan seremonial besar-besaran. Ini menunjukkan bahwa Hamas telah beradaptasi dengan taktik negosiasi yang lebih strategis dan mempertimbangkan dampak psikologis terhadap Israel. Dengan demikian, pola interaksi antara kedua belah pihak tidak lagi bersifat satu dimensi, melainkan semakin kompleks.
Pembebasan tahanan Palestina dalam jumlah besar merupakan salah satu elemen negosiasi yang selama ini menjadi tujuan utama Hamas. Hamas tampaknya memahami bahwa tekanan militer saja tidak cukup untuk mencapai tujuan politiknya. Oleh karena itu, pendekatan mereka dalam diplomasi sandera menunjukkan pergeseran dari strategi perang konvensional ke arah yang lebih berbasis pada leverage politik.
Di sisi lain, Israel berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, Israel harus menunjukkan ketegasan dalam menghadapi Hamas, tetapi di sisi lain, tekanan internasional dan tuntutan domestik untuk membebaskan sandera Israel membuat mereka harus berkompromi. Pembebasan tahanan Palestina ini adalah bagian dari langkah untuk menyeimbangkan kedua kepentingan tersebut.
Keberhasilan Hamas dalam negosiasi ini juga menunjukkan efektivitas mereka dalam menata kembali unit tempur setelah serangan besar-besaran Israel. Pengaktifan kembali unit-unit tempur Hamas menegaskan bahwa kelompok ini masih memiliki kapasitas untuk melakukan perlawanan berskala besar. Dengan demikian, gencatan senjata bukan hanya jeda sementara tetapi juga kesempatan bagi Hamas untuk mengonsolidasikan kekuatan.
Keberhasilan Hamas dalam menekan Israel bukan sekadar kemenangan diplomasi, tetapi juga bukti bahwa kekuatan negosiasi bisa menjadi senjata yang lebih tajam dibandingkan serangan militer.
Situasi ini juga memberikan sinyal kuat kepada komunitas internasional bahwa Hamas masih memiliki pengaruh signifikan dalam dinamika konflik Palestina-Israel. Keputusan Israel untuk melanjutkan gencatan senjata tahap kedua menunjukkan bahwa meskipun Hamas dianggap sebagai organisasi militan oleh banyak pihak, mereka tetap menjadi aktor utama dalam konflik ini. Lebih jauh, strategi Hamas dalam mengelola isu sandera dan pembebasan tahanan ini menjadi preseden baru dalam negosiasi konflik. Tidak hanya sebagai langkah pragmatis, tetapi juga sebagai bentuk tekanan psikologis terhadap Israel yang selama ini mengandalkan superioritas militernya. Dengan kata lain, Hamas telah mengubah narasi perang menjadi permainan diplomasi yang lebih canggih.
Namun, keberhasilan ini juga memunculkan pertanyaan tentang dampaknya terhadap stabilitas jangka panjang di Gaza dan wilayah sekitarnya. Dengan meningkatnya kekuatan Hamas pasca-gencatan senjata, apakah Israel akan terus mempertahankan pendekatan negosiasi atau kembali pada opsi militer? Ketidakpastian ini menandakan bahwa meskipun ada jeda dalam pertempuran, ketegangan tetap tinggi.
Dari perspektif hak asasi manusia, pembebasan tahanan Palestina dalam jumlah besar ini juga mengundang sorotan. Banyak di antara mereka yang ditahan tanpa proses hukum yang jelas oleh Isreal. Dengan demikian, pembebasan sandera oleh Israel dapat diartikan sebagai pengakuan atas kritik internasional terhadap kebijakan penahanan yang diterapkannya. Namun bagi Israel, langkah ini bisa jadi merupakan strategi untuk menenangkan tekanan global.
Selain itu, peran aktor internasional dalam negosiasi ini juga menarik untuk dicermati. Negara-negara seperti Qatar dan Mesir yang sering menjadi mediator dalam konflik ini tampaknya memainkan peran penting dalam mendukung tercapainya kesepakatan. Keterlibatan mereka menunjukkan bahwa solusi politik dalam konflik ini masih memiliki ruang untuk berkembang. Dari sisi politik domestik Israel, keputusan untuk membebaskan tahanan Palestina ini tentu tidak diterima secara universal. Kelompok sayap kanan di Israel melihat langkah ini sebagai bentuk kelemahan, sementara kelompok moderat dan keluarga sandera melihatnya sebagai langkah yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa warga Israel. Perpecahan internal ini dapat mempengaruhi kebijakan Israel ke depan.
Gencatan senjata bukan hanya jeda dalam peperangan, tetapi juga kesempatan bagi kedua pihak untuk menata strategi, apakah menuju perdamaian atau justru persiapan babak konflik berikutnya.