Dalam geliat kehidupan perkotaan Semarang yang terus berkembang, fenomena "gilo-gilo" tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari warna budaya kuliner lokal.Â
Gilo-gilo, istilah yang merujuk pada pedagang keliling yang menjajakan kuliner dengan gerobak sederhana, bukan hanya sekadar cara berdagang. Ia adalah cerminan kearifan lokal, narasi sejarah, dan peluang ekonomi kreatif yang terus hidup.
Gilo-gilo adalah simbol keramahan masyarakat Semarang. Pedagang gilo-gilo dengan ciri khas gerobak dorongnya membawa nuansa tradisional yang melekat pada keseharian warga.Â
Mereka menyajikan hidangan khas seperti tahu gimbal, kudapan, pisang goreng, bakwan, nasi kucing, dengan diselingi menjual buah potong seperti semangka, pepaya, bengkoang, nanas, pisang, dan melon.Â
Kesemuanya lengkap dengan senyuman dan sapaan hangat dari penjual sehingga tradisi ini tidak hanya sekadar menjual makanan, tetapi juga membangun relasi sosial dengan pelanggannya.
Budaya gilo-gilo mencerminkan filosofi "gotong royong" dalam arti yang lebih luas, di mana interaksi antara pedagang dan pembeli melampaui transaksi ekonomi menjadi wujud solidaritas masyarakat.Â
Kehadiran mereka di sudut-sudut jalan atau kompleks perumahan menjadi pengingat bahwa Semarang masih memeluk tradisi di tengah modernitas.
Dulunya pedagang gilo-gilo membawa jajanan dengan cara dipikul, sehingga sikap berjalannya serasa sambil menggeleng-gelengkan kepala.Â
Dalam bahasa Jawa, geleng-geleng itu dinamai gela-gelo sehingga tercetus nama gilo-gilo. Versi lain, gilo-gilo sebagai julukan khas asal Klaten dengan sebutan "Segilo" atau diartikan 1 rupiah. Sebuah simbol bahwa jajanan yang dijual sangat murah dan terjangkau oleh orang-orang asal Klaten, Sukoharjo, dan Boyolali.