Eksistensi di Tengah Modernitas
Kemajuan kota Semarang dengan berbagai pusat perbelanjaan dan restoran modern tidak serta-merta menggeser popularitas gilo-gilo.Â
Justru, gilo-gilo menjadi pilihan bagi mereka yang mencari pengalaman otentik. Harga yang terjangkau dan rasa yang khas menjadikan pedagang gilo-gilo tetap memiliki tempat di hati masyarakat.
Namun, eksistensi ini menghadapi tantangan. Modernisasi perkotaan seringkali mengurangi ruang bagi pedagang kecil seperti gilo-gilo. Penataan kota yang memprioritaskan estetika dan kemacetan menjadi ancaman bagi keberlangsungan tradisi ini.Â
Eksistensi gilo-gilo sangat dipengaruhi kedatangan kaum urban ke Semarang. Pedagang-pedagang yang semula membawa barang jualannya secara dipikul itu, membangun komunitasnya di kawasan Kampung Gabahan dan Kampung Kulitan di Kecamatan Semarang Tengah.
Gilo-gilo telah menjadi bagian dari sejarah panjang kota Semarang. Tradisi ini bermula dari kebutuhan masyarakat untuk menyediakan makanan cepat saji yang mudah dijangkau.Â
Gerobak sederhana yang dulu didorong secara manual kini bertransformasi dengan tambahan roda dan inovasi lainnya, namun tetap mempertahankan esensi tradisionalnya.
Gilo-gilo tidak hanya mencerminkan sejarah kuliner Semarang tetapi juga perjalanan sosial ekonomi masyarakatnya. Di masa lampau, pedagang gilo-gilo adalah simbol perjuangan ekonomi rakyat kecil yang mencari nafkah dengan cara yang mandiri dan kreatif. Hingga kini, tradisi itu terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Agar gilo-gilo dapat terus bertahan dan berkembang, diperlukan upaya pengembangan yang inovatif. Gilo-gilo dapat diberi identitas visual unik yang mencerminkan Semarang, seperti motif batik atau logo khas pada gerobak atau baju pedagang.Â
Para pedagang dapat diajak kolaborasi dengan komunitas kreatif seperti seniman lokal untuk mendesain gerobak atau membuat event kuliner yang menonjolkan gilo-gilo.Â