Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hujan di Tanah Abang

16 Juni 2015   09:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:01 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

si tukang becak yang menjadi orang bersejarah itu dahulu, telah pula menjadi supir pribadi dinda. Istri ismail. Dindapun mulai banyak kegiatan, selain banyak membantu perniagaan suaminya. Ia juga tumbuh sebagai tokoh perempuan di lingkungannya. Kenalannya bertambah luas, melintas daerah bahkan pulau. Ia yang sejak awal percaya bahwa pernikahannya dengan ismail adalah suatu pengorbanan dan keyakinan untuk berbahagia, telah mulai mendapat pangkalnya sekarang. Sungguh senang pula hatinya. Tak ada terlintas penyesalan dalam keadaan sekarang.

Begitupun dengan kegundahan ismail yang dulu sempat muncul, perlahan terbenam diterjang keadaanya sekarang.

Melihat nur yang sedang berlarian di taman, merasa senang hatinya. Apapun permintaan anaknya ia penuhi, apa saja yang jadi kemauan anaknya tak pernah ditolak. Selama materi masih ada tak akan pernah menjadi masalah. Itulah bahagia yang ia tuju. “bukankah setiap orang hidup untuk berbahagia? Sebab itu apa saja yang bisa membuatmu bahagia lakukanlah selama itu mampu. Bahagia ia melihat putrinya yang selalu senyum menerima keinginanya, bahagia ia melihat anaknya yang bermanja dipangkuannya setelah diberikannya pakaian dan gadged baru. Senang ia melihat buah hatinya yang membangga-banggakan kedua orang tuanya yang berhasil, punya banyak harta serta derwaman sekaligus dihadapan teman seumurannya. Yang lain hanya mengernyitkan dahi”. Sesekali dinda mengatakan pada anaknya “nur, tidak perlu bicara seperti itu”, dinda sambil tersenyum.

Kemanapaun orang tuanya ingin pergi, mau jugalah nur mengikuti. Ke toko kainnya, bahkan ke bank untuk menabung. Tak ingin ia jauh-jauh dari orang tuanya, terutama ibunya. Walau telah tersedia pula pengasuh anak di rumahnya. Nur kecil sudah mulai menenteng handphone atau juga tablet yang sudah dihadiahkan untuknya sejak berumur genap dua tahun. Tak bukan tak lain ialah kebahagiaan yang menjadi alasan dari semua fasilitas itu.

Nur pernah berbincang dengan ibunya tentang itu. “ibu, ibu, apa nur boleh punya mainan seperti Rina”, sahutnya. “iya bu, Rina sudah bisa main-main dengan benda itu bu, nur boleh juga ya bu”, ia menunjuk pada handphone ibunya, kemudian melihatkan wajah manisnya pada ibunya. “iya anak ibu yang paling cantik, bidadari yang paling manis, tentu nur bisa main juga seperti Rina”, balas ibunya dengan senyum pula. “tapi belum sekarang ya”. Ibunya sebentar menatap anaknya, ingin melihat reaksinya. Ia melihat nur kecil kemudian murung “sekarang belum, tapi nanti sore ibu belikan”. ibunya tertawa pelan melihat anaknya melonjak kegirangan.         

Zaman yang sudah semakin maju mengajarkan seorang untuk semakin mandiri. Dinda dan ismailpun kemudian membagi kesibukan mereka. Dinda tidak lagi membantu ismail dengan toko daganganya, karena ia sendiri telah membuka cabang usaha yang baru. Dinda berusaha butik saat ini, dimana pelanggannya adalah sektor menengah ke atas, walau tak menutup untuk yang kalangan bawah. Ia membuatnya begitu fleksibel sehingga dapat dijangkau oleh siapapun.

Ismail karena itu lebih banyak menghabiskan waktunya di tokonya daerah tanah abang, mengatur perniagaan yang semakin pesat. Mengawasi barang yang keluar dan masuk. Jelaslah bahwa hanya dinda sebagai orang tua yang menghabiskan sedikit waktunya untuk nur kecil.

Semanjak itu pula nur semakin pintar dengan mainanya itu. Konsentrasinya telah tumpah pada barang-barang yang ada di sekitarnya. Pada pakaian, pada mainan dan segala macam yang membuatnya serius dan bahagia. Terkadang setelah ibunya datang saat pulang dari pekerjaannya, tak ia hiraukan. Ibunya mencium keningnya sedang berlalu untuk merapikan bawaannya.

Saat mereka bertiga berkumpul di waktu senggang, ismail, dinda dan nur kecil. Inginlah mereka berjalan ke taman, dimana mereka dapat melepas jenuhnya selama pekerjaan. Ingin menghangatkan kembali suasana dengan anaknya yang sedikit mendapat perhatian. Ismail lebih paham tentang hal ini. Ialah yang sangat jarang punya waktu dengan keluarganya, padahal ialah keluarga yang masih terbilang sangat kecil sekali. Maka iapun mengajak nur untuk menangkap kupu-kupu di taman. “siapa yang mau ikut menangkap kupu-kupu dengan bapak?”, tanyanya pada istri dan anaknya. Dinda hanya tersenyum kemudian melihat ke arah nur. “ayo ibu mau”, sahut dinda kemudian. “nur?”, sahut bapaknya kemudian.

“ayok anak ibu yang paling manis, kita menangkap kupu-kupu”. “iya bu, lima menit lagi bu, masih tanggung”, sahut nur sambil berlalu. “oke bapak tunggu ya, sisa waktunya satu menit ya”, sahut ismail. Tanpa menunggu jawaban nur, bapaknya itu langsung membopong anaknya ke pundaknya dengan tablet yang belum terlepas dari tangan anaknya tersebut. “ah bapak”, nur kecil memprotes. “ayo siap-siap kita sebentar lagi bertempur”, sahut bapaknya kemudian.

Dua tahun berjalan, tak ada yang berubah dari kesibukan ismail dan dinda. Kata yang mereka kenal hanyalah “sibuk”, usahanya semakin melaju maju. Itulah untuk masa depannya mereka semua. Untuk Nur pula, untuk bahagianya. Nur ingin dimasukkan di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang terkenal di tanah abang, itulah keinginan ismail. Sedang dinda tak ingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun