Di era digital saat ini, batas antara ruang pribadi dan ruang publik semakin kabur. Apa yang dulu hanya menjadi konsumsi pribadi atau dibagikan dalam lingkup terbatas kini dengan mudah meluncur ke layar gawai ribuan orang dalam hitungan detik.Â
Kehidupan yang dahulu bersifat intim seperti momen keluarga, percakapan batin, bahkan kegagalan dan luka emosional kini hadir sebagai konten yang bisa dikomentari, disukai, bahkan dikritik oleh publik luas.
Media sosial, yang awalnya dirancang sebagai ruang untuk terkoneksi dan berbagi, kini juga berperan sebagai panggung untuk eksistensi. Kita tidak hanya berbagi apa yang terjadi, tetapi juga mengatur bagaimana itu terlihat.Â
Privasi mulai didefinisikan ulang bukan berdasarkan seberapa banyak yang kita simpan untuk diri sendiri, tetapi seberapa besar kendali yang kita miliki atas narasi yang ingin kita tampilkan.
Dalam situasi seperti ini, muncul dilema yang tak bisa diabaikan, semakin kita ingin hadir dan dikenal, semakin kita terdorong untuk membuka sisi-sisi kehidupan yang seharusnya bersifat personal.Â
Sementara itu, dorongan untuk tetap relevan, terlihat, dan terhubung membuat banyak orang merasa harus selalu ada di linimasa, bahkan ketika itu mengorbankan ketenangan batin atau keselamatan informasi pribadi.
Kita pun hidup di tengah tarik ulur antara dua kebutuhan besar, kebutuhan untuk menjaga ruang pribadi demi kenyamanan dan keamanan, serta kebutuhan untuk eksis demi merasa dihargai dan diterima.
Keinginan untuk diakui dan dilihat adalah naluri manusia. Sejak lama, manusia membutuhkan validasi sosial sebagai bagian dari rasa aman dan kebermaknaan hidup. Di dunia nyata, bentuk pengakuan bisa berupa pujian, perhatian, atau sekadar kehadiran orang lain yang mendengar.Â
Di media sosial validasi itu hadir dalam bentuk yang lebih instan, jumlah likes, komentar positif, jumlah pengikut, atau seberapa sering unggahan kita dibagikan orang lain.
Inilah yang kemudian mendorong banyak orang untuk terus membagikan momen-momen hidup mereka tak hanya yang besar dan membanggakan, tetapi juga yang paling remeh atau paling rapuh.Â