Dalam beberapa tahun terakhir, vape atau rokok elektrik semakin populer di kalangan remaja Indonesia. Tren ini tidak hanya terlihat di lingkungan perkotaan, tetapi juga mulai merambah ke daerah-daerah.
Dengan desain yang menarik, varian rasa yang beragam, serta aroma yang tidak menyengat seperti rokok konvensional, vape seolah-olah menawarkan gaya hidup baru yang lebih modern dan “aman.”
Banyak remaja yang mulai mencoba vape bukan karena kebutuhan, melainkan karena rasa penasaran, dorongan sosial, atau keinginan untuk terlihat lebih dewasa dan mengikuti tren.
Fenomena ini diperkuat oleh kehadiran media sosial, di mana banyak konten kreator atau figur publik mempromosikan penggunaan vape secara terbuka.
Sayangnya, persepsi bahwa vape adalah alternatif yang lebih sehat dari rokok seringkali menyesatkan, terutama bagi generasi muda yang belum memahami risiko jangka panjangnya.
Maka pertanyaannya kini: apakah vape memang sekadar simbol gaya hidup kekinian, atau justru sedang mengintai sebagai ancaman kesehatan baru bagi remaja Indonesia?
Tren yang Meningkat di Kalangan Remaja
Data dari berbagai survei lokal menunjukkan bahwa jumlah pengguna vape di kalangan remaja terus meningkat.
"Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya perokok berusia 10-18 tahun.
Kelompok anak dan remaja merupakan kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019).