Ada yang bilang umur 23 itu masih dalam masa transisi. Usianya masih tergolong muda, tetapi juga sudah cukup dewasa untuk menanggung tanggung jawab hidup.
Banyak orang menjulukinya sebagai masa quarter life crisis, padahal bisa juga menjadi masa quarter life growth. Tahun 23 ini membuat banyak orang belajar tentang hati, relasi, karier, bahkan spiritualitas.
Usia 23 sering kali terasa campur aduk. Di satu sisi ingin bebas, mencoba hal baru, rebahan tanpa beban. Di sisi lain, ada dorongan untuk berani melangkah, menunjukkan diri, bahkan menata arah masa depan.
Perasaan yang bertabrakan ini mungkin tidak selalu nyaman, tetapi justru di situlah pelajaran berharga disimpan.
Jika ditarik benang merah, usia 23 bukan hanya soal pencapaian yang terlihat orang lain. Lebih dari itu, ia adalah tahun belajar memahami diri sendiri. Dari keberanian untuk berkata jujur pada hati, hingga ketekunan menjaga karya meski energi naik turun.
Belajar Jujur pada Hati
Salah satu pencapaian terbesar di usia ini adalah keberanian untuk jujur pada hati. Banyak yang mulai menyadari kapan harus maju, kapan harus menjaga jarak, kapan harus diam, dan kapan saatnya jujur mengungkapkan rasa.Â
Bahkan ketika overthinking datang, ada ruang refleksi yang membuat seseorang tidak lagi sekadar ikut arus.
Di usia ini, rasa kangen, capek, dan keinginan memiliki pasangan yang tulus tidak lagi ditutupi. Orang-orang belajar mengekspresikan diri apa adanya, tanpa takut terlihat rapuh.
Relasi pun menjadi tempat pembelajaran penting. Ada momen tarik-ulur, tetapi keberanian untuk hadir dan peduli mulai tumbuh.
