Sementara itu, data SKI 2023 menunjukkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10-14 tahun (18,4%)." (Sumber: sehatnegeriku.kemkes.go.id)
Remaja yang sebelumnya tidak merokok kini tertarik mencoba vape karena dipandang lebih "keren", tidak berbau menyengat, dan dianggap tidak seberbahaya rokok konvensional.
Faktor lingkungan juga memengaruhi tingginya angka ini. Dalam banyak kasus, remaja mulai mengenal vape dari teman sebaya atau bahkan dari konten-konten video pendek yang menampilkan penggunaan vape sebagai bagian dari gaya hidup bebas dan ekspresif.
Persepsi “Lebih Aman”: Mitos atau Fakta?
Banyak pengguna remaja menganggap vape lebih aman daripada rokok biasa karena tidak menghasilkan asap tembakau dan memiliki aroma buah atau mint yang “tidak berbahaya”.
Namun, anggapan ini keliru dan berpotensi menyesatkan. Meskipun vape tidak menghasilkan tar seperti rokok konvensional, uap yang dihirup tetap mengandung zat berbahaya seperti nikotin, formaldehida, asetaldehida, dan logam berat dari komponen pemanas.
Nikotin, terutama, sangat adiktif dan bisa berdampak negatif pada perkembangan otak remaja, yang masih dalam tahap pertumbuhan.
Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan uap vape secara rutin dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan, gangguan paru-paru, bahkan meningkatkan risiko penyakit jantung dalam jangka panjang.
Dampak Sosial dan Psikologis
Lebih dari sekadar isu kesehatan fisik, penggunaan vape juga membawa dampak sosial dan psikologis.
Remaja yang menggunakan vape cenderung mengalami perubahan perilaku, seperti meningkatnya impulsivitas, kesulitan berkonsentrasi, dan ketergantungan emosional terhadap nikotin.