Sebab dalam logika media sosial, semakin banyak yang kita tunjukkan, semakin besar kemungkinan kita diperhatikan. Sering kali, tanpa sadar, kita mengukur nilai diri berdasarkan seberapa banyak respons yang kita terima secara daring.
Namun, kebutuhan akan eksistensi ini juga memiliki sisi gelap. Ketika pengakuan dari dunia luar menjadi pusat motivasi, kita mulai kehilangan kendali atas apa yang benar-benar penting bagi diri sendiri.Â
Gaya hidup terbuka di media sosial sering kali membuat seseorang merasa harus terus membagikan cerita agar tetap relevan.Â
Ada semacam tekanan tak terlihat untuk selalu hadir di linimasa entah itu dengan unggahan harian, update kehidupan pribadi, atau sekadar membagikan opini tentang isu yang sedang hangat.Â
Ketidakhadiran digital dalam waktu tertentu bahkan bisa menimbulkan rasa takut ketinggalan atau kehilangan perhatian dari audiens, teman, bahkan diri sendiri.
Lama-kelamaan, aktivitas berbagi bukan lagi tentang keinginan tulus untuk terhubung, melainkan tentang menjaga eksistensi dalam dunia maya yang bergerak begitu cepat.Â
Setiap momen, dari yang monumental hingga yang biasa-biasa saja, bisa menjadi konten potensial. Sarapan pagi, outfit hari ini, lokasi nongkrong, hingga ekspresi emosi pun terekam dan dibagikan demi menjaga ritme keterlihatan.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita benar-benar hidup untuk diri sendiri, atau justru untuk dinikmati orang lain? Apakah momen-momen yang kita alami masih punya makna pribadi, atau sudah dikonstruksi agar tampak menarik bagi publik?
Tanpa disadari, kebiasaan ini dapat mempengaruhi cara kita memaknai kebahagiaan, pencapaian, dan keintiman. Alih-alih merasakan hidup secara utuh, kita sibuk mengemasnya agar tampak sempurna.Â
Lebih jauh, persoalan ini juga menyentuh ranah keamanan. Semakin banyak informasi pribadi yang kita bagikan secara terbuka mulai dari lokasi tinggal, rutinitas harian, hingga detail keluarga semakin besar pula potensi risiko yang mengintai. Di balik layar, tidak semua orang yang melihat unggahan kita memiliki niat baik.Â
Informasi yang tampak sepele seperti waktu liburan, plat nomor kendaraan, atau nama sekolah anak bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk tujuan manipulatif, pencurian identitas, hingga tindakan kriminal.