Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Libur Usai, Macet Menanti: Arus Balik Lebaran Jadi Ujian Kesabaran

6 April 2025   14:30 Diperbarui: 7 April 2025   09:50 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Kendaraan mudik. (Sumber: KEMENHUB via kompas.com)

Lebaran telah usai. Euforia berkumpul bersama keluarga di kampung halaman perlahan digant ikan oleh realita perjalanan panjang menuju kota. 

Hiruk-pikuk suasana Lebaran yang hangat dan penuh tawa kini berganti dengan suara klakson, deru mesin kendaraan, dan wajah-wajah lelah yang menanti giliran di antrean tol atau stasiun.

Perjalanan arus balik bukan hanya soal menempuh jarak ratusan kilometer, tapi juga tentang melawan kemacetan, kejar-kejaran dengan waktu, dan kesiapan mental untuk kembali ke rutinitas. 

Ribuan bahkan jutaan pemudik harus berhadapan dengan kondisi lalu lintas yang padat, jadwal keberangkatan yang molor, hingga tubuh yang belum sepenuhnya pulih dari aktivitas Lebaran.

Di tengah semua itu, ada tekanan yang tak bisa dihindari: pekerjaan menunggu, kantor tak bisa ditunda. Maka banyak yang rela berangkat dini hari, memotong hari libur, bahkan tidur di rest area demi bisa tiba tepat waktu. 

Jalan Raya Jadi Ruang Tunggu Raksasa

Bagi banyak pemudik yang memilih moda transportasi darat, terutama mobil pribadi dan bus, perjalanan arus balik bisa berubah menjadi mimpi buruk. Rute yang biasanya ditempuh dalam hitungan jam bisa melar menjadi belasan bahkan puluhan jam. 

Jalan tol yang tadinya jadi andalan karena kecepatan dan kenyamanannya, justru berubah jadi lautan kendaraan yang bergerak pelan-pelan, terkadang bahkan berhenti total.

Pemandangan rest area yang penuh sesak, antrean panjang di pintu tol, hingga kendaraan yang mogok akibat kelelahan mesin atau pengemudi yang kehabisan tenaga, menjadi bagian dari kisah arus balik setiap tahunnya. 

Dalam kondisi seperti ini, bukan hanya fisik yang diuji, tetapi juga emosi. Anak-anak rewel karena bosan, orang tua gelisah karena belum sampai tujuan, dan para pengemudi yang dipaksa tetap waspada meski mata sudah berat menahan kantuk.

Ironisnya, semua ini terjadi di tengah semangat untuk cepat-cepat kembali ke kota agar bisa hadir di hari pertama masuk kerja. 

Pekerjaan Menanti, Tapi Badan Belum Siap

Ilustrasi kemacetan arus balik lebaran (sumber gambar: akun FB/ ChefNofri Andi Nofri)
Ilustrasi kemacetan arus balik lebaran (sumber gambar: akun FB/ ChefNofri Andi Nofri)

Buru-buru kembali ke kota seringkali membuat para pemudik mengabaikan kebutuhan tubuh mereka untuk istirahat. 

Setelah menjalani hari-hari padat selama Lebaran mulai dari silaturahmi, persiapan makanan, hingga perjalanan mudik yang tidak ringan banyak yang langsung tancap gas pulang ke kota tanpa sempat memulihkan energi. 

Tubuh yang masih lelah dipaksa berjibaku dengan kemacetan dan waktu tempuh yang panjang, seringkali dalam kondisi kurang tidur dan stres karena kejaran waktu.

Hal ini tak hanya berdampak pada kondisi fisik, tetapi juga mental. Konsentrasi mudah buyar, emosi jadi tidak stabil, dan risiko kecelakaan pun meningkat. 

Sayangnya, tekanan untuk segera masuk kerja sering membuat keputusan yang seharusnya rasional seperti berhenti sejenak untuk tidur atau makan malah dianggap membuang waktu.

Tak sedikit pula yang memaksakan diri menyetir sendiri berjam-jam tanpa pengganti, atau menumpang bus malam dengan kondisi tubuh yang sudah sangat kelelahan. 

Solusi Masih Bersifat Sementara

Pemerintah memang sudah melakukan sejumlah langkah antisipasi, seperti rekayasa lalu lintas, pembatasan kendaraan berat, hingga penambahan jadwal transportasi umum. 

Langkah-langkah ini tentu membawa dampak positif dalam mengurai kepadatan, namun tantangannya tetap besar ketika jutaan orang memilih waktu pulang yang hampir bersamaan. 

Sistem buka-tutup jalan, contra flow, dan pengalihan arus memang membantu, tapi tak sepenuhnya mampu menghindarkan kemacetan total di titik-titik rawan.

Di sisi lain, infrastruktur yang belum sepenuhnya merata juga membuat pilihan moda transportasi jadi terbatas, khususnya bagi mereka yang berasal dari daerah yang jauh dari akses kereta atau bandara. 

Akibatnya, jalan darat masih menjadi pilihan utama, meski sudah diprediksi akan padat.

Kesabaran, Satu-Satunya Modal

Akhirnya, bagi para pemudik, kesabaran menjadi kunci. Dalam perjalanan panjang yang penuh ketidakpastian macet berjam-jam, antrean tak berujung, hingga kelelahan yang terus mengintai tak ada yang bisa diandalkan selain kemampuan untuk tetap tenang dan berpikir jernih. 

Momen arus balik bukan hanya tentang pulang ke kota, tapi juga tentang bagaimana seseorang mengelola stres, menjaga emosi, dan tetap fokus di tengah tekanan. Di balik semua keluhan dan kelelahan itu, ada cerita tentang ketangguhan. 

Tentang bagaimana seorang ayah tetap menyetir meski matanya mulai berat, tentang ibu yang berusaha menenangkan anaknya di tengah kemacetan, atau tentang para pekerja yang tiba dini hari dan tetap masuk kantor dengan senyum, meski tubuh masih ingin rebah.

Mungkin, itulah sisi lain dari tradisi mudik dan balik lebaran di Indonesia sebuah ritual besar yang tak hanya bicara soal pergerakan manusia, tapi juga tentang nilai, pengorbanan, dan harapan. 

Harapan bahwa setelah perjalanan panjang ini, ada kehidupan yang terus berjalan, ada keluarga yang selalu menanti, dan ada semangat baru untuk kembali menata hari-hari di kota.

Karena pada akhirnya, sejauh dan selama apapun perjalanan itu, rumah tetaplah tempat kembali. Dan meski libur telah usai dan macet menghadang, semangat untuk melanjutkan hidup tak boleh padam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun