Hidup Segan, Mati Tak Mau
Pepatah Melayu “hidup segan, mati tak mau” sangat tepat untuk menggambarkan kondisi para pekerja yang terjebak dalam borgol emas. Mereka menjalani hari-hari dengan setengah hati terbangun setiap pagi bukan karena semangat, melainkan karena kewajiban.
Mereka tidak mencintai pekerjaannya, bahkan mungkin membencinya. Tapi untuk benar-benar meninggalkan semua itu? Terlalu banyak yang dipertaruhkan.
Ada cicilan rumah, biaya sekolah anak, tanggungan orang tua, dan gaya hidup yang perlahan membentuk standar kenyamanan tertentu.
Semua itu menjadi beban tak kasat mata yang terus menarik mereka kembali ke kursi kerja yang sama, ke ruang rapat yang tak lagi memberi inspirasi, ke rutinitas yang semakin hambar dari hari ke hari.
Ironisnya, semakin tinggi posisi dan gaji seseorang, semakin kuat pula borgol emas yang mengikatnya. Semakin besar yang harus dikorbankan bila ingin keluar. Bukan hanya materi, tapi juga reputasi, rasa aman, dan kepastian.
Mengapa Kita Bertahan?
Selain alasan ekonomi, ada juga rasa takut takut gagal, takut menyesal, takut jatuh ke posisi yang lebih buruk. Ketakutan-ketakutan ini membungkus diri dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang terus bergaung di kepala: "Kalau resign, nanti kerja di mana?" "Bagaimana kalau tempat baru lebih parah?" "Apa aku cukup kompeten untuk memulai dari nol?"
Rasa takut ini bukan tanpa dasar. Dunia kerja tidak selalu ramah pada mereka yang mencoba memulai lagi. Belum lagi tekanan sosial dari sekitar: keluarga yang mengandalkan, teman-teman yang menilai, atau pandangan masyarakat yang sering menyamakan ‘resign’ dengan ‘gagal bertahan’.
Pada akhirnya, keputusan untuk tetap tinggal bukan hanya karena uang, tetapi karena ketidakpastian di luar sana terlihat jauh lebih menakutkan daripada penderitaan yang sudah familiar.
Pekerjaan yang membosankan atau melelahkan bisa terasa lebih aman dibanding petualangan yang belum tentu membawa hasil.