Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena "Lebaran Blues", Mengapa Banyak Orang Merasa Kosong Setelah Hari Raya?

1 April 2025   19:52 Diperbarui: 2 April 2025   22:57 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi blues pasca lebaran (sumber gambar: tangerangkota.go.id)

"Lebaran adalah momen yang selalu dinantikan dengan penuh kebahagiaan."

Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, Hari Raya menjadi puncak perayaan yang diisi dengan tradisi khas seperti mudik, berkumpul bersama keluarga, menyantap hidangan istimewa, hingga saling bermaafan. 

Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan ini sering kali menghadirkan perasaan haru dan kebahagiaan mendalam. 

Namun, di balik gemerlap perayaan, banyak orang justru mengalami perasaan kosong atau kehilangan setelah Lebaran usai. 

Euforia yang begitu tinggi tiba-tiba mereda, aktivitas kembali ke rutinitas biasa, dan kebersamaan dengan keluarga yang singkat pun berakhir. 

Fenomena ini dikenal sebagai "Lebaran Blues", sebuah kondisi emosional yang membuat seseorang merasa sedikit sedih atau hampa pasca-perayaan. 

Mengapa hal ini terjadi, dan bagaimana cara mengatasinya? 

Apa Itu "Lebaran Blues"?

"Lebaran Blues" merujuk pada kondisi emosional di mana seseorang merasa kehilangan, lesu, atau bahkan sedikit depresi setelah Hari Raya. 

Perasaan ini biasanya muncul ketika suasana hangat dan meriah Lebaran tiba-tiba berakhir, meninggalkan kekosongan dalam rutinitas sehari-hari.

Banyak orang yang sebelumnya disibukkan dengan persiapan Lebaran mulai dari belanja kebutuhan, mudik, hingga merencanakan acara keluarga mendadak harus kembali ke kehidupan normal yang mungkin terasa monoton. 

Perubahan drastis ini dapat memicu perasaan hampa, seolah-olah ada sesuatu yang hilang setelah periode penuh kebersamaan dan kebahagiaan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada individu yang merayakan Lebaran dengan keluarga besar, tetapi juga pada mereka yang merayakannya sendiri. 

Penyebab "Lebaran Blues"

Ada beberapa faktor yang dapat memicu perasaan kosong setelah Lebaran. Salah satunya adalah perubahan ritme kehidupan yang drastis. 

Selama bulan Ramadan, orang-orang memiliki rutinitas yang lebih terstruktur, seperti sahur, berbuka, tarawih, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. 

Setelah Lebaran, semua itu mendadak berakhir, menciptakan perasaan kehilangan dan kebingungan dalam menjalani hari-hari berikutnya.

Selain itu, kebersamaan dengan keluarga yang hanya berlangsung sementara juga menjadi pemicu utama. Bagi mereka yang mudik, Lebaran menjadi momen langka untuk berkumpul dengan orang-orang tercinta. 

Namun, ketika harus kembali ke kota perantauan dan kembali menjalani kesibukan masing-masing, rasa rindu dan kesepian pun muncul.

Faktor finansial juga berperan dalam munculnya "Lebaran Blues." Pengeluaran yang besar selama Ramadan dan Lebaran, mulai dari kebutuhan makanan, pakaian baru, hingga biaya perjalanan, bisa meninggalkan tekanan ekonomi. 

Setelah perayaan usai, banyak orang mulai menyadari kondisi keuangan mereka yang mungkin tidak stabil, sehingga menambah beban pikiran.

Bagaimana Mengatasi "Lebaran Blues"?

Menghadapi "Lebaran Blues" membutuhkan pendekatan yang seimbang antara fisik, emosional, dan mental. Salah satu cara yang efektif adalah dengan mempertahankan kebiasaan baik yang telah dijalani selama Ramadan. 

Misalnya, tetap meluangkan waktu untuk ibadah, berbagi dengan sesama, dan menjaga pola makan yang sehat agar tubuh tetap bugar dan pikiran lebih tenang. 

Dengan begitu, transisi dari bulan Ramadan ke bulan-bulan berikutnya tidak terasa terlalu mendadak. Selain itu, menjaga komunikasi dengan keluarga dan teman juga penting untuk mengurangi rasa sepi setelah Lebaran. 

Jika memungkinkan, tetaplah terhubung dengan mereka melalui panggilan video atau pesan singkat. Meskipun tidak bisa selalu bertemu secara langsung, interaksi ini dapat membantu mempertahankan rasa kebersamaan yang telah terjalin saat Lebaran.

Mengisi waktu dengan kegiatan produktif juga dapat membantu mengalihkan perhatian dari perasaan hampa. 

Cobalah untuk kembali fokus pada pekerjaan, mengejar target pribadi, atau bahkan memulai aktivitas baru yang menyenangkan seperti olahraga, membaca buku, atau belajar keterampilan baru. 

Dengan menjaga diri tetap sibuk dan memiliki tujuan, rasa kosong yang muncul setelah Lebaran bisa berkurang secara bertahap.

Kesimpulan

"Lebaran Blues" adalah fenomena yang wajar dan bisa dialami siapa saja. Perubahan mendadak dari suasana penuh kebersamaan dan kebahagiaan menuju rutinitas sehari-hari dapat memicu perasaan hampa, kehilangan, atau bahkan stres. 

Namun, penting untuk menyadari bahwa perasaan ini bersifat sementara dan dapat diatasi dengan langkah-langkah yang tepat.

Dengan tetap menjaga kebiasaan baik dari Ramadan, menjaga silaturahmi meskipun jarak memisahkan, serta mengisi waktu dengan aktivitas yang bermanfaat, seseorang dapat perlahan kembali ke ritme kehidupan yang seimbang. 

Selain itu, mengelola ekspektasi dan memahami bahwa kehidupan terus berjalan setelah Lebaran juga dapat membantu mengurangi dampak emosional yang muncul.

Lebaran bukan hanya tentang satu atau dua hari perayaan, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai yang telah diperkuat selama Ramadan dapat terus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Dengan memahami hal ini, "Lebaran Blues" bukan lagi menjadi beban, melainkan sebuah proses alami yang dapat dihadapi dengan lebih tenang dan penuh makna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun