Aceh, daerah yang dikenal dengan julukan Serambi Mekkah, memiliki berbagai tradisi unik dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Salah satu tradisi yang paling khas dan terus dilestarikan hingga kini adalah Meugang.Â
Tradisi ini berlangsung sehari atau dua hari sebelum memasuki bulan puasa, di mana masyarakat Aceh berbondong-bondong membeli dan memasak daging sebagai bentuk perayaan menyambut datangnya Ramadhan.
Meugang bukan sekadar kebiasaan turun-temurun, tetapi juga memiliki makna sosial dan spiritual yang mendalam. Bagi masyarakat Aceh, momen ini menjadi waktu untuk berkumpul bersama keluarga, berbagi rezeki dengan yang kurang mampu, dan mempererat tali silaturahmi sebelum menjalani ibadah puasa.Â
Kehadiran Meugang tidak hanya dinantikan oleh keluarga, tetapi juga menjadi bagian penting dari identitas budaya Aceh yang menunjukkan rasa syukur dan kebersamaan. Seiring dengan perkembangan zaman, Meugang tetap bertahan sebagai tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.Â
Meskipun ada berbagai tantangan, seperti kenaikan harga daging atau perubahan gaya hidup masyarakat modern, esensi dari Meugang tetap sama: merayakan datangnya bulan suci dengan kebersamaan dan kepedulian sosial. Lantas, bagaimana sejarah, makna, dan dinamika Meugang di era modern?Â
Sejarah Meugang di Aceh
Meugang telah ada sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam dan menjadi bagian penting dari budaya masyarakat Aceh hingga saat ini. Pada masa itu, sultan membagikan daging kepada rakyat sebagai simbol kesejahteraan dan kepedulian terhadap sesama.Â
Tradisi ini menunjukkan bagaimana pemimpin berperan dalam memastikan seluruh lapisan masyarakat, termasuk kaum miskin, dapat menikmati hidangan istimewa menjelang Ramadhan. Selain sebagai bentuk kedermawanan, Meugang juga menjadi ajang mempererat hubungan antara sultan dan rakyatnya.Â
Daging yang dibagikan bukan hanya untuk konsumsi pribadi, tetapi juga sebagai simbol kebersamaan dan persatuan. Semangat berbagi ini terus diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikan Meugang lebih dari sekadar tradisi kuliner, melainkan juga bagian dari identitas sosial dan budaya masyarakat Aceh.