"Cancel culture atau budaya pembatalan menjadi fenomena yang semakin sering dibicarakan di media sosial."
Istilah ini merujuk pada aksi kolektif masyarakat, terutama warganet, untuk menarik dukungan atau memboikot seseorang, merek, atau institusi yang dianggap melakukan tindakan tidak pantas, kontroversial, atau bertentangan dengan nilai sosial tertentu.
Fenomena ini berkembang pesat seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial, di mana opini publik dapat terbentuk dengan cepat dan menyebar luas dalam hitungan jam.Â
Melalui tagar, petisi, dan seruan untuk berhenti mengikuti atau mendukung suatu pihak, cancel culture kerap dianggap sebagai bentuk akuntabilitas sosial.Â
Namun, di sisi lain, banyak yang mengkritik fenomena ini sebagai bentuk peradilan massa yang tidak memberikan ruang bagi klarifikasi atau kesempatan untuk memperbaiki kesalahan.
Di Indonesia, cancel culture semakin sering terlihat dalam berbagai kasus, mulai dari selebriti yang tersandung skandal, brand yang dianggap tidak etis, hingga tokoh publik yang pernyataannya menuai kontroversi.Â
Tetapi, apakah cancel culture benar-benar nyata di Indonesia, atau hanya sekadar tren sesaat yang dipicu oleh dinamika media sosial?
Asal-usul Cancel Culture
Cancel culture awalnya berkembang di dunia Barat, terutama di Amerika Serikat, sebagai bagian dari gerakan sosial untuk menuntut pertanggungjawaban figur publik atas tindakan mereka.Â
Fenomena ini banyak dikaitkan dengan gerakan keadilan sosial seperti #MeToo, yang menyoroti kasus pelecehan seksual oleh tokoh-tokoh terkenal, serta gerakan antirasisme seperti Black Lives Matter.Â