Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Fenomena Main Hakim Sendiri: Apa yang Salah dengan Sistem Hukum Kita?

8 Februari 2025   13:00 Diperbarui: 8 Februari 2025   13:00 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi di Amuk masa /main hakim sendiri (sumber gambar: Fery Bangkit via limawaktu.id)

Di berbagai sudut Indonesia, fenomena main hakim sendiri masih kerap terjadi. Dari kota besar hingga pelosok desa, tak jarang kita mendengar kasus di mana seseorang yang diduga melakukan kejahatan langsung dihajar massa, bahkan hingga tewas, tanpa proses hukum yang jelas. 

Aksi brutal ini sering kali muncul sebagai bentuk luapan emosi, ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum, atau sekadar dorongan spontan dari kerumunan yang terprovokasi. Ironisnya, dalam banyak kasus, tindakan ini justru menimbulkan lebih banyak ketidakadilan. 

Ada kejadian di mana korban main hakim sendiri ternyata bukanlah pelaku kejahatan yang sebenarnya. Beberapa kasus bahkan dipicu oleh kesalahpahaman atau hoaks yang menyebar cepat di media sosial. Fenomena ini bukan sekadar persoalan kriminalitas semata, tetapi juga mencerminkan adanya masalah serius dalam sistem hukum dan sosial kita. 

Mengapa masyarakat lebih memilih bertindak sendiri daripada melaporkan ke polisi? Apakah hukum kita terlalu lambat sehingga orang merasa harus mencari keadilan dengan tangan mereka sendiri? Atau justru ada faktor budaya yang membuat aksi ini terus terjadi?

Ketidakpercayaan terhadap Aparat Penegak Hukum

Salah satu penyebab utama main hakim sendiri adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Banyak orang merasa bahwa aparat penegak hukum, seperti polisi dan pengadilan, tidak dapat memberikan keadilan yang cepat dan adil. 

Kasus-kasus kejahatan yang lambat ditangani, tersangka yang bisa lolos dengan mudah, serta praktik suap dan korupsi di berbagai lembaga hukum semakin memperkuat persepsi bahwa hukum di Indonesia hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Contoh nyata dari ketidakpercayaan ini bisa dilihat dari banyaknya kasus pencurian kecil yang berujung pada pengeroyokan massa. Masyarakat merasa bahwa jika mereka menyerahkan pelaku ke polisi, kemungkinan besar si pelaku akan dibebaskan dengan alasan kurangnya bukti atau karena "damai" dengan korban melalui jalur yang tidak transparan. 

Akibatnya, warga yang sudah kehilangan kesabaran memilih mengambil tindakan sendiri, meskipun itu melanggar hukum.

Proses Hukum yang Lamban dan Berbelit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun