Mohon tunggu...
Muhammad Aswar
Muhammad Aswar Mohon Tunggu... Sastrawan

Muhammad Aswar adalah penikmat Sastra Arab dan pemerhati kajian Timur Tengah. Menjadi pembicara di LIFEs Salihara 2021. Menerjemahkan puisi Nizar Qabbani, Cinta Tak Berhenti di Lampu Merah (Circa, 2021); Surat Tuhan karya Albert Einstein (Circa, 2023); Pembangkangan Sipil karya Henry David Thoreau (Basabasi, 2024); Max Havelaar karya Multatuli (Basabasi, 2025).

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Deepfake, Kekerasan Seksual Digital yang Mengintai Perempuan

5 Juli 2025   15:31 Diperbarui: 5 Juli 2025   15:31 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Deepfake (Sumber: Facephi/Kredit Foto))

"Itu bukan tubuhku. Tapi wajah itu... jelas wajahku."

Di tengah ledakan teknologi kecerdasan buatan (AI), perempuan kini menghadapi bentuk baru kekerasan seksual digital. Wajah mereka bisa diambil dari Instagram, ditempelkan ke tubuh dalam video porno palsu menggunakan teknologi deepfake, dan disebarkan tanpa izin. Ini adalah kekerasan yang tak menyentuh kulit, tapi meninggalkan luka yang dalam dan nyata.

Apa Itu Deepfake dan Mengapa Berbahaya?

Deepfake adalah hasil manipulasi visual menggunakan AI untuk mengubah wajah dan suara seseorang agar tampak berada dalam situasi yang tidak nyata. Meski awalnya dikembangkan untuk film dan hiburan, deepfake kini disalahgunakan sebagai alat kekerasan seksual berbasis teknologi, terutama terhadap perempuan.

Riset menunjukkan bahwa lebih dari 96% video deepfake di internet adalah konten porno palsu, dengan wajah perempuan sebagai target utama. Bahkan perempuan biasa---mahasiswi, pekerja, aktivis---bisa jadi korban hanya karena fotonya beredar di media sosial.

Deepfake Adalah Kekerasan Seksual Tanpa Sentuhan

Ketika wajah perempuan ditempelkan ke tubuh dalam video palsu, yang terjadi adalah pelanggaran privasi digital sekaligus perampasan identitas. Banyak korban mengalami trauma psikologis, pengucilan sosial, bahkan kehilangan pekerjaan karena video deepfake porno yang mereka sendiri tidak tahu kapan dan oleh siapa dibuat.

Fenomena ini adalah bagian dari kekerasan berbasis gender online (KBGO), yang seringkali diabaikan karena tidak menimbulkan luka fisik. Padahal, tubuh digital perempuan juga layak dilindungi. Luka emosional yang ditinggalkan video palsu bisa sama merusaknya dengan kekerasan nyata.

Hukum Indonesia Masih Tertinggal

Hingga kini, regulasi tentang deepfake di Indonesia masih sangat minim. UU ITE belum secara spesifik mengatur penyalahgunaan AI untuk manipulasi wajah dan penyebaran video palsu. Polisi pun sering tak tahu harus menangani dari mana. Di beberapa kasus, korban justru disalahkan karena "terlalu sering selfie."

Ini mencerminkan kegagapan hukum dalam menghadapi kasus deepfake yang kian kompleks. Negara harus segera merumuskan perlindungan hukum untuk korban kekerasan seksual digital, termasuk mekanisme penghapusan cepat dan pelacakan pelaku di platform anonim seperti Telegram dan Reddit.

Luka Digital, Trauma Nyata

Korban kekerasan seksual online karena deepfake sering tak punya ruang aman untuk bicara. Mereka dipermalukan, tidak dipercaya, dan dibiarkan sendirian menghadapi serangan digital. Trauma ini berlangsung lama, apalagi ketika konten deepfake porno terus menyebar tanpa kendali.

Ini bukan soal teknologi semata. Ini soal hak asasi perempuan di dunia digital. Ini tentang bagaimana algoritma dan budaya patriarki bersekongkol dalam ruang maya yang semakin kejam.

Apa yang Harus Dilakukan?

  • Dorong edukasi publik tentang deepfake dan dampaknya terhadap perempuan
  • Desak pemerintah menyusun regulasi tentang kekerasan seksual berbasis teknologi
  • Tuntut tanggung jawab platform dalam menghapus dan memblokir konten deepfake
  • Percaya pada korban, bukan menyalahkan mereka

Kesimpulan: Tubuh Digital Juga Layak Dilindungi

Deepfake bukan hiburan. Ia adalah bentuk kekerasan seksual modern. Wajah perempuan bukan properti publik yang bisa direkayasa sesuka hati. Di dunia yang semakin terdigitalisasi, kita perlu menjamin keamanan digital dan hak atas privasi, terutama bagi perempuan.

Hari ini mungkin hanya selfie. Tapi besok, bisa jadi wajah itu muncul dalam video yang tak pernah kamu buat. Dan ketika itu terjadi, kamu butuh sistem yang berpihak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun